• Kondisi Sosial Masa Al Ghazali

    A.    Kondisi  Sosial Masa Al Ghazali
    Perlu untuk diketahui, kondisi maupun lingkungan sekitar dapat mempengaruhi pemikiran maupun karakter kepribadiaan  seseorang.  Seorang tokoh maupun pemikir, sedikit banyaknya terpengaruh oleh pemikiran yang berkembang pada zamannya. Maka lingkungan sangat berpengaruh besar dalam membentuk karakter kepribadian maupun pemikiran seseorang. Yang dimaksud dengan lingkungan, kami memahaminya terutama lingkungan keluarga, maupun lingkungan masyarakat sekitar.
    Adapun kondisi keilmuwan pada abad pertengahan, secara umumnya ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang cukup pesat diimbangi dengan dialog peradaban yang dinamis. Pada masa ini telah terjadi penerjemahan buku-buku “non Islam”, terutama literatur dari peradaban Yunani. Situasi berdampak yang sangat luar biasa, khususnya terhadap perkembangan keilmuwan Umat Islam.[1]
    Menurut Munawir Sadzali, semasa hidup Al Ghazali dunia Islam sedang mengalami kemunduran yang sangat parah dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya termasuk kemerosotan kehidupan beragama dan akhlak.[2]  
    Suasana yang tidak kalah penting saat hidupnya Al Ghazali, banyak bermunculan pemikiran-pemikiran bebas hingga mengganggu orang-orang dalam beribadah. Perlu untuk kita akui, saat itu dunia filsafat dan ilmu kalam sangat berkembang pesat. Meskipun pola pemikiran Al Ghazali banyak dipengaruhi oleh filsafat dan ilmu kalam, bukan berarti ia jauh dari Al Quran dan Sunnah. Menurut Ibnu ‘Asakir saat Al Ghazali menunaikan haji lalu setelah itu ia tinggal di Syam selama 10 tahun selain bermujahadah, ia pun sibuk dengan menulis beberapa bukunya. Ia duduk dipojokan masjid Umawy. Di masjid Umawy ia belajar kitab Shahih Bukhori kepada Abu Sahal Al Hafsy. Dari sini cukup jelas bahwa Al Ghazali selain ia tekun menguasai ilmu kalam dan filsafat, ia pun terbukti belajar kitab hadits Shahih Bukhori.[3] Tetapi di lain pihak, kondisi masyarakat saat itu lebih condong kepada kehidupan yang materialistik. Mereka lebih senang kehidupan hedonistik. Sehingga tanpa disadari, masyarakat saat itu sedikit melupakan dimensi ketuhanan, karena lebih disibukan dengan kehidupan hedonistik.[4]
    Dari segi ekonomi, saat itu masyarakat Islam sedang mengalami kehidupan yang cukup makmur. Hal ini yang membuat bidang keilmuwan mengalami perkembangan yang sangat pesat, baik di bidang keagamaan maupun di bidang umum.[5] Dapat dilihat maraknya transformasi ilmu pengetahuan, dimulai dengan penerjemahan buku-buku “non Islam” terutama literatur dari peradaban Yunani. Kondisi ini memberikan nilai positif  khususnya bagi perkembangan keilmuwan umat Islam.[6]
    Perlu untuk kita ketahui, saat itu keadaan masyarakat banyak juga dipengaruhi oleh beberapa aliran pemikiran. Setiap aliran mengakui bahwa kebenaran hanya ada pada mereka. Al Ghazali sedikitnya membagi aliran yang saat itu berkembang kepada 4 bagian; Mutakallimun, Falasifah, Bathiniyah, Mutashawwifah.[7] Maka menurut kami tidak salah jika Al Ghazali sedikit banyaknya telah terpengaruh oleh beberapa pemikiran baik pemikiran filosuf, mutakallim, maupun mutashawwif.
    Telah diakui oleh kita semua, bahwa Al Ghazali merupakan sosok ilmuwan Islam yang sangat haus dengan ilmu. Penjelajahan intelektual Al Ghazali sangat baik untuk kita jadikan contoh. Hampir seluruh hidupnya ia curahkan hanya untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Al Ghazali sangat antusias saat ingin menguasai pokok sebuah permasalahan, ia pun selalu memahaminya hingga akar permasalahan. Tidak salah ia dijuluki sebagai “Hujjatul Islam”(argumentator Islam),[8] ia sangat ahli bukan hanya dalam bidang teolog, tetapi ia pun ahli dalam bidang  fikih, filsafat, thasawwuf,  dan mantiq.
    Berikut karya-karya Imam Al Ghazali dalam bidang Thasawwuf, penulis sengaja mengutipnya dari buku Prof Dr Jamal Sa’ad Mahmud Juma’ah:[9]
                                  1.            Bidayah Hidayah. Telah dicetak di Bulaq tahun 1287 H, tahun 1291 H, dicetak di Kairo tahun 1277  H, dicetak di Bombai tahun 1326 H, dan terakhir di Kairo tahun 1934 M.
                                  2.            Al Arba’in fi Ushul Ad Din. Dicetak di Kairo tahun 1910 M.
                                  3.            Ayyuhal Walad. Dicetak di Kairo tahun 1328 H, dicetak di Istanbul tahun 1305 H, lalu tahun 1905 M diterjemahkan ke bahasa Turki oleh Muhammad Rasyid, lalu diterjemahkan ke bahasa Jerman oleh Hamer Berjesytal tahun 1838 M. Dan pernah diterjemahkan ke bahasa Prancis dalam surat kabar Unesco pada tahun 1951 M, dan yang kedua tahun 1959 M.
                                  4.            Nasihatul Muluk. Telah dicetak di Kairo tahun  1277 H.
                                  5.            Al Risalah Laduniyyah. Telah dicetak oleh Muhyiddin Shabri di Kairo pada tahun 1328 H. Dan dicetak pula berkali-kali tanpa diketahui tahunnya.
                                  6.            Misykatul Anwar. Dicetak di Kairo tahun 1322 H, 1325 H, 1929 M. Kemudian diterjemahkan ke bahasa Ibranioleh Ishaq Bin Yusuf Al Fash. Beberapa manuskrip dapat ditemukan di perpustakaan Oxford dan Vatikan, lalu diterjemahkan ke bahasa Inggris di London tahun 1924 M oleh W.H. Gaidner.
                                  7.            Sirrul ‘Alamain wa Kasyfu Ma Fi Al Darain. Dicetak di Bombai tahun 1314 H, Kairo tahun 1324 H, dan pada tahun 1327 H dicetak di Teheran Iran tanpa dijelaskan tanggal secara jelas.
                                  8.            Minhajul Abidin.  Dicetak di Kairo tahun 1288 H, 1291 H, 1305 H, 1306 H, 1313, 1316, 1322, 1327, 1337. Pada tahun 1351 H diterjemahkan ke bahasa Persia oleh Syekh Yusuf  Badhah  yang wafat tahun 834 H dan manuskrifnya dapat ditemukan di Leiden.
                                  9.            Ad Durroh  Al Fakhirah Fi Kasyfi Ulum Al Akhirah. Dicetak di Kairo pada tahun 1280 H, 1303 H, 1308 H, 1323 H, 1325 H, 1346 H. Dicetak di Leipziq pada tahun 1925 M, diterjemahkan ke bahasa Jerman di kota Hannover pada tahun 1924 M.
    Adapun karya Imam Al Ghazali dalam bidang Fikih dan Ushul Fikih, di antaranya:[10]
                                  1.            Al Basith Fi Al Furu’ ‘ala Nihayah Al Mathlab li Imam Al Haramain.
                                  2.            Al Wajiz Fi Al Furu’
                                  3.            Al Wasith Al Muhith
                                  4.            Al Mustashfa Fi ‘ilmi Ushul
                                  5.            Al Mankhul Fi ‘ilm Al Ushul
              Adapun karya Imam Al Ghazali dalam bidang tafsir, di antaranya:
                                  1.            Jawahir Al Quran
                                  2.            Yaqut Al Ta’wil Fi Tafsir Al Tanzil
    Adapun karyanya dalam bidang aqidah, antara lain:[11]
                                  1.            Al Iqtishad Fi Al I’tiqad
                                  2.            Iljamul 'Awam an ‘Ilmi Al Kalam
                                  3.            Al Qistash Al Mustaqim
                                  4.            Aqidah Ahlu Sunnah
                                  5.            Al Qaul Al Jamil Fi Al Radd ‘ala Man Ghayyara Al Injil
                                  6.            Al Munqidz mina Al Dhalal
                                  7.            Al Risalah Al Qudsiyah
    Bidang Filsafat dan logika, antara lain:
                                  1.            Misykah Al Anwar
                                  2.            Tahafut Al Falasifah
                                  3.            Mi’yar Al ‘Ilmi
                                  4.            Al Muthal Fi ‘Ilm Al Jidal
                                  5.            Mihak Al Nadzar Fi Al Mantiq
                                  6.            Maqasid Al Falasifah
    Sebenarnya masih banyak lagi karya Imam Al Ghazali, baik yang sudah dicetak dan diterbitkan, maupun yang masih berbentuk manuskrip. Karya-karya tersebut sangat banyak memberikan manfaat kepada umat Islam khususnya.
    Adapun karya beliau berupa “ihya ulumuddin” saat ini dipakai dibeberapa pesantren Indonesia. Buku tersebut sangat tidak asing bagi umat Islam, meskipun terdepat beberapa kontroversi. kitab Ihya ulumuddin merupakan salah satu karya Imam Al Ghazali yang paling terkenal di antara karya yang lain. kitab tersebut mencakup beberapa pembahasan yang amat penting. Menurut Jamal Sa’ad Mahmud Jum’ah, buku tersebut  di dalamnya menggabungkan antara fikih dan tasawwuf,  begitu pula memuat akan pentingnya berfikir dengan menggunakan akal dan pendidikan.[12] Menurutnya sesuatu yang dianggap kontroversi dalam buku tersebut, melainkan di dalamnya memuat hadits-hadits dhaif, kisah-kisah yang membutuhkan proses berfikir, maupun sesuatu yang dianggap berlebihan khususnya berkenaan dengan hal zuhud.[13]
    Di lain hal, Imam Nawawi sangat memuji kitab “Ihya Ulumudin”. Menurutnya, seandainya hilang ataupun lenyap seluruh karya-karya umat Islam dan yang tersisa hanya kitab “ihya ulumudin”, maka kitab tersebut sangat cukup untuk menggantikannya. Maka tak heran, kitab “ihya” telah diterjemahkan bukan hanya ke bahasa Persia melainkan ke bahasa Inggris maupun beberapa negara lainnya.
    Ketika Syeikh Muhammad Mushtafa Al Maraghi hendak pergi ke Sudan untuk menjadi hakim disana, ia berkunjung terlebih dahulu ke kediaman Syaikh Muhammad Abduh. Pertanyaan pertama yang dilontarkan oleh Muhammad Abduh kepada  Syeikh Al Maraghi ialah: “apakah engkau telah menyiapkan kitab “ihya ulumudin” ??. pertanyaan ini menunjukan bahwa kitab “ihya ulumudin “ merupakan salah satu karya Al Ghazali yang sangat penting untuk dijadikan rujukan hukum.[14]
                Dalam sejarah, Al Ghazali memulai menulis kitab “ihya” pada tahun 489 H, ia menulisnya di kubah dari masjid Al Aqsha, kemudian ia menyelesaikannya di Damaskus. [15] Adapun yang pertama kali menulis ikhtisar dari kitab “ihya” ialah saudara kandungnya Al Ghazali yang bernama Ahmad bin Muhammad Al Ghazali yang wafat pada tahun 520 H yang ia beri nama kitab “lubab Al Ihya”.[16] Ulama kontemporer yang pertama kali meringkas kitab “ihya “ ialah Syaikh Jamaluddin Al Qasimi nama kitabnya “ mau’idzah Al Mu’minin min Ihya ulumiddin”. Ulama yang pertama kali mensyarah kitab “ihya” ialah Muhammad bin Muhammad Al Husaini Az Zabidi ia telah mensyarahnya dalam bukunya yang berjudul “Ithaf Al Sadah Al Muttaqin bi Syarh As rar ‘Ulum Ad Din”.[17]
                Tanpa diragukan, bahwa kitab “ihya” merupakan rujukan untuk para da’i maupun penceramah. Biasanya mereka menggunakan kitab “ihya” sebagai rujukan terhadap materi yang akan disampaikan. Dalam kitabnya, Al Ghazali memulai dengan keutamaan ilmu, menuntut ilmu, serta ia mengkaji pula ilmu-ilmu yang wajib dipelajari dan tidak, begitu pula dengan ilmu yang terpuji dan bahaya. Pada intinya dalam kitabnya, Al Ghazali mengkaji klasifikasi ilmu berdasarkan beberapa bagian. Insya Allah kami akan membahasnya.



    [1] Asrorun Niam, Reorientasi Pendidikan Islam; Mengurai Relevansi Konsep al Ghazali Dalam Konteks Kekinian,  (cet.4, Jakarta, Elsas, 2006).h.18.
    [2] Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (cet.5, Penerbit Universitas Indonesia, 2011),h.71.
    [3] Lihat Abu Hamid Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, ta’liq dan syarh oleh Thoha Abdul Rauf Sa’ad, (cet.1. Kairo, Maktabah Shafa, 2003),h.14.
    [4] Asrorun Niam, Reorientasi Pendidikan Islam; Mengurai Relevansi Konsep al Ghazali Dalam Konteks Kekinian,  (cet.4, Jakarta, Elsas, 2006).h.18.
    [5] Asrorun Niam, Reorientasi Pendidikan Islam; Mengurai Relevansi Konsep al Ghazali Dalam Konteks Kekinian,  (cet.4, Jakarta, Elsas, 2006).h.19.
    [6] Asrorun Niam, Reorientasi Pendidikan Islam; Mengurai Relevansi Konsep al Ghazali Dalam Konteks Kekinian,  (cet.4, Jakarta, Elsas, 2006).h.18.
    [7] Asrorun Niam, Reorientasi Pendidikan Islam; Mengurai Relevansi Konsep al Ghazali Dalam Konteks Kekinian,  (cet.4, Jakarta, Elsas, 2006).h.31.
    [8] Hingga saat ini penulis belum mendapatkan siapa yang memberikan gelar tersebut, dan kapan gelar tersebut diberikan!!
    [9] Jamal Sa’ad Mahmud Jum’ah, Fi Riyadhi Al Tasawwuf al Islami, (cet.1, Kairo, Universitas Al Azhar, 1998),h.126-128.
    [10] Asrorun Niam, Reorientasi Pendidikan Islam; Mengurai Relevansi Konsep al Ghazali Dalam Konteks Kekinian,  (cet.4, Jakarta, Elsas, 2006).h.31.
    [11] Musthafa Abdul Jawwad ‘imran, As Sadad Fi Al Irsyad ila Al Iqtishad fi Al I’tiqad, (cet.1, Kairo, Darul Bashair, 2009),h.27.
    [12] Jamal Sa’ad Mahmud Jum’ah, Fi Riyadhi Al Tasawwuf al Islami, (cet.1, Kairo, Universitas Al Azhar, 1998),h.128.
    [13] Jamal Sa’ad Mahmud Jum’ah, Fi Riyadhi Al Tasawwuf al Islami, (cet.1, Kairo, Universitas Al Azhar, 1998),h.128.
    [14] Jamal Sa’ad Mahmud Jum’ah, Fi Riyadhi Al Tasawwuf al Islami, (cet.1, Kairo, Universitas Al Azhar, 1998),h.129.
    [15] Jamal Sa’ad Mahmud Jum’ah, Fi Riyadhi Al Tasawwuf al Islami, (cet.1, Kairo, Universitas Al Azhar, 1998),h.129.
    [16] Jamal Sa’ad Mahmud Juma’ah, Fi Riyadhi Al Tasawwuf al Islami, (cet.1, Kairo, Universitas Al Azhar, 1998),h.129.
    [17] Jamal Sa’ad Mahmud Jum’ah, Fi Riyadhi Al Tasawwuf al Islami, (cet.1, Kairo, Universitas Al Azhar, 1998),h.130.

    No comments

    Post Top Ad

    ad728

    Post Bottom Ad

    ad728