Wednesday, March 5.
  • Sejarah Hidup Al Ghazali


       Sejarah  Hidup  Al  Ghazali

    Syekh Al Ghazali merupakan ulama Islam yang sangat karismatik melalui karyanya yang fenomenal berupa kitab ihya ulumuddin. Nama lengkap beliau adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al Ghazali.[1] Ada pendapat lain yang mengatakan nama lengkap al Ghazali ialah Abu Hamid Zaenal Abidin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad At Tusi yang lebih dikenal dengan Al Ghazali.[2] Adapula yang mengatakan nama lengkapnya ialah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad At Thusi As Syafi’i Al Ghazali.[3] Ia lahir di sebuah perkampungan kecil bernama Ghazalah, daerah Thus, Khurasan, suatu daerah di Persia yang saat ini dikenal dengan negara Iran, pada tahun 450 H/1058 M.[4] Al Ghazali tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang sederhana dan saleh. Ayahnya bernama Muhammad seorang buta huruf, mata pencahariaannya sebagai penenun wol dengan pendapatan yang pas-pasan. Namun keterbatasan ekonomi tidak menghalangi dirinya untuk bertemu dengan para ulama dan pemikir dalam pertemuan ilmiah.[5] Ayahnya Al Ghazali sangat aktif mengikuti pertemuan ilmiah dengan para pemikir maupun ulama pada masanya, hingga terinspirasi pada dirinya untuk memberikan pendidikan terbaik kepada anaknya Al Ghazali dan adiknya Ahmad, dengan penuh harapan semoga keduanya dapat menjadi ilmuwan di masa yang akan datang. Muhammad sempat menitipkan kedua anaknya Al Ghazali dan Muhammad kepada salah seorang sufi serta mewariskan hartanya untuk biaya pendidikan kedua anaknya. Sufi tersebut merupakan salah satu teman dekat dari ayahnya Al Ghazali. Namun Ahmad adiknya Al Ghazali wafat ketika Al Ghazali masih kecil.[6]
    Para peneliti telah berselisih pendapat mengenai asal muasal sebutan Al Ghazali. Di antara peneliti ada yang mengatakan bahwa sebutan tersebut dinisbahkan kepada daerah tempat kelahirannya Al Ghazali, yakni Ghazalah. Ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwa sebutan Ghazali berasal karena latar belakang profesi ayahnya  ghazzal al shuf (pemintal benang wol). Pendapat kedua ini menandakan bahwa istilah tersebut disesuaikan dengan pekerjaan ayahnya sebagai pemintal tenun.[7]
    Al Ghazali untuk pertama kalinya menuntut ilmu di kota Thus. Di kota ini ia mempelajari ilmu fikih kepada syekh Ahmad bin Muhammad Al Radzkani.[8]  Selanjutnya ia berangkat ke Jurjan melanjutkan studi hadits pada seorang ulama mazhab Syafi’i bernama Abu Al Qasim Al Isma’ili [9] kemudian ia kembali lagi ke kota Thus dan tinggal di kota tersebut selama 3 tahun.[10] Lalu ia pergi ke kota Nisabur dan bertemu dengan Syekh Al Juwaini[11] dan banyak mempelajari beberapa disiplin ilmu kepada Imam Juwaini di madrasah Nizhamiyah yang saat itu termasuk madrasah yang sangat besar di kota Nisabur, dan Imam Haramain merupakan kepala madrasah tersebut. Ilmu-ilmu yang dipelajari oleh Al Ghazali kepada Imam Haramain antara lain: mantiq, falsafah, hingga Al Ghazali dapat menguasainya dengan baik pada waktu yang tidak terlalu lama.[12] Meskipun menurut beberapa peneliti bahwa Imam Haramain bukan seorang filosof, tetapi ia mengajarkan studi filsafat kepada Imam Al Ghazali. Disinilah Al Ghazali pertama kalinya mengenal ilmu kalam dan filsafat. Al Ghazali sangat antusias untuk menimba ilmu kepada Imam Juwaini hingga akhir hayatnya pada tahun 478 H yang saat itu Al Ghazali berumur 28 tahun. Kecerdasan Imam Al Ghazali sangat mengundang kekaguman gurunya Imam Haramain, maka ia pun diangkat oleh gurunya untuk menjadi asisten pengajar Imam Haramain. Lalu ia pun diangkat untuk menjadi guru besar di madrasah Nizhamiyah setelah wafatnya Imam Haramain pada tahun 478 H. Menurut Munawwir Sadzali, saat Al Ghazali menimba ilmu kepada Imam Juwaini, ia merasakan kebimbangan yang didapatkan dari gurunya. Lalu ia menggabungkan diri dengan sebuah kelompok yang bernama  “Nizam al Mulk”, suatu kelompok yang saat itu menarik bagi para cendekiawan muslim.[13] Kelompok ini terletak disebuah daerah yang bernama mu’askar. Di tempat tersebut ia bertemu dengan Nidzam al Mulk,[14] seorang menteri kerajaan Saljuk di bawah Malik Syah yang terkenal cukup berilmu. Ia sangat dikagumi saat berada di kelompok tersebut hingga akhirnya ia diminta untuk mengajar pada Madrasah Nizhamiyah[15] yang berada di kota Baghdad.[16] Al Ghazali memulai aktifitasnya sebagai guru besar di Madrasah  Nizhamiyah Baghdad,  pada tahun  481 H/1091 M dalam usia 31 tahun. Memasuki usia 34 tahun ia ditunjuk sebagai Rektor  Universitas.[17]
    Ketika aktif  mengajar di Baghdad, Al Ghazali melahirkan beberapa karyanya yang berkualitas, di antaranya; al Basith, al Wasith, al Wajiz, al Khulashoh fi ‘ilm al Fiqh, al Munqil fi ‘Ilm al Jidal, Makhhadz al Khilaf, dan al Mabadi’ wa al Ghayat fi Fann al Jidal. Dalam kesempatan mengajar tersebut, ia aktif dalam mempelajari beberapa ilmu pengetahuan seperti filsafat Yunani, dan berbagai aliran pemikiran yang berkembang saat itu, dengan tujuan agar dapat mendapatkan kebenaran pada pengetahuan.[18] Serta ia aktif  untuk memberikan kritikan terhadap pemikiran-pemikiran pada kelompok yang berkembang saat itu di antaranya; Bathiniyah, Ismailiyyah, dan  Filsafat.
    Pada tahun 488 H/1095 M, Al Ghazali meninggalkan Baghdad untuk pergi haji ke Mekkah setelah 4 tahun ia mengajar di Baghdad. Beberapa peneliti meragukan akan kepergian al Ghazali ke Mekkah hanya untuk menunaikan haji, melainkan pada waktu tersebut diyakini sebagai awal mulanya Al Ghazali mendalami sufisme. Bahkan diyakini bahwa Al Ghazali sudah tidak tertarik dengan keadaan kota Baghdad. Suasana Baghdad menurutnya sudah tidak mendukung untuk mendalami sufisme, sehingga akhirnya ia meninggalkan kota tersebut. Perjalanan sufistik Al Ghazali mula-mula pergi ke Siria pada tahun 479 H dan menetap di masjid Umawy sambil mengajar di Zawiyah[19]. Lalu ia pun pergi ke Baitul Maqdis dan banyak melalukan ibadah disana. Adapula yang mengatakan ia sempat berkunjung ke kota Iskandariyah meski hanya sebentar. Lalu ia kembali ke kota Thus dan banyak menyibukkan dengan ilmu. Ia mengajar sambil menulis buku di daerah kelahirannya. Pada tahun 490 H ia kembali ke Siria dan ia didesak oleh anaknya untuk kembali ke Baghdad. Pada tahun tersebut ia kembali ke Baghdad.[20]
    Tetapi Baghdad sudah menjadi kota yang cukup tidak nyaman bagi perenungannya. Akhirnya, pada tahun 492 H/1099 M Al Ghazali meninggalkan kota Baghdad dan kembali ke kota Thus. Cukup lama ia melakukan kehidupan zuhud, tafakkur, sehingga ia rela meninggalkan keluarganya dan hanya pada waktu-waktu tertentu saja ia menjumpai keluarganya.
    Masa sebelas tahun penyendiriannya telah mengantarkan Al Ghazali kepada puncak spiritual. Ia berketetapan hati untuk mengakhiri dan kembali mengajar di madrasah Nidzam Mulk atas permintaan Fakh Al Mulk, putera Nidzam Mulk. Ia mengajar disana selama 3 tahun lamanya. menginjak tahun ke empat ia kembali ke kota Thus dan mendirikan lembaga pendidikan di samping rumahnya. Ia pun wafat di kota Thus pada hari ahad 14 jumadil akhir tahun 505 H/1111 M dalam usia 53 tahun.[21] Adapula yang menyatakan bahwa al Ghazali wafat pada hari senin 14 jumadal akhir 505 H.[22] Menurut Thoha Abdul Rauf Sa’ad bahwa Ibnu katsir menceritakan wasiat imam Al Ghazali saat di akhir hayatnya dalam kitab Bidayah Wa Nihayah untuk selalu melakukan perbuatan dengan ikhlas, dan ia pun mengulang kalimat ikhlas hingga menghembuskan nafas terakhirnya.[23] Ia merupakan ilmuwan dalam khazanah Tasawwuf sebagai tokoh penengah. Perjalanan keilmuwannya berakhir setelah mendalami tasawwuf.[24]
    Perjalanan intelektual Imam Al Ghazali sangat baik untuk kita amati. Perjalanan intelektualnya baik dalam mempelajari ilmu kalam, filsafat, hingga ia menjadi sosok ilmuwan yang ahli dalam teolog tidak luput dari sifat kontroversi. Salah satu kontroversi yang kami dapatkan tiada lain akan pengaruh filsafat pada dirinya.[25] Hingga akhirnya, ada beberapa orang mengatakan bahwa Al Ghazali di akhir hidupnya ia taubat dari pengaruh Aqidah Al Asy’ari. Menurut penelitian kami, yang dimaksudkan di atas ialah bahwa Al Ghazali dan beberapa ulama Aqidah lainnya kembali dari methode Takwil ke methode Tafwidh  dalam hal ayat-ayat Al Quran yang membicarakan mengenai Mutasyabihat. Methode Takwil merupakan methode yang dipakai oleh jumhur ulama salaf  dalam memahami ayat Al Quran yang berbicara mengenai mutasyabihat, dengan tujuan agar ayat tersebut tidak diartikan sama seperti sifat yang dimiliki oleh makhluk.[26] Menurut Al Ghazali, sangat fatal dan berbahaya jika ayat mutasyabihat diartikan dengan  Zhahir Nas (tekstual). Akibatnya, akan lahir perumpamaan dari sifat-sifat Allah SWT yang menyerupai seperti manusia maupun makhluk lainnya. Ini sangat bertentangan dengan Aqidah Islam maupun pemahaman ulama salaf.[27]
    Dari  beberapa literatur disebutkan, bahwa pengaruh filsafat terhadap diri Al Ghazali sangat kuat. Beliau sempat menyusun buku yang berisikan bantahan  terhadap  Filsafat yang berjudul Tahafut. Memang awalnya ia merasakan syak terhadap segalanya. Ia pun ragu terhadap ilmu kalam karena ia dapatkan beberapa aliran yang bertentangan. Lalu ia pun mempelajari filsafat, dan banyak ia dapatkan dalam filsafat yang bertentangan dengan Islam. Lalu dengan munculnya buku Tahafut tiada lain membantah dan mengkritik pemikiran-pemikiran filsafat.[28] Memang dalam buku tersebut Al Ghazali banyak menyebutkan kejelakan-kejelakan filsafat walaupun ada sebagiannya yang dianggap benar. Hingga akhirnya ia dekat dengan tasawwuf, tiada lain karena ia merasakan akan ketenangan hatinya. Walaupun demikian, Al Ghazali tetap mempelajari filsafat meskipun ia ragu terhadap Filasafat.  Ia pun tidak luput untuk memberikan kritikan terhadap filsafat, hingga kritikannya tidak dapat dibantahkan. Tentu kritikannya menggunakan methode filsafat dari hasil kajiannya yang mendalam terhadap filsafat itu sendiri. Hingga akhirnya ia dapat memberikan karya yang sangat fonumental berupa buku Ihya Ulumuddin dan kitab Tahafut Al Falasifah. Ahli sejarah menyatakan, bahwa munculnya kedua buku tersebut tiada lain karena saat itu banyak bermunculan pemikiran bebas, hingga akhirnya orang-orang banyak yang meninggalkan ibadah.[29]
    Al Ghazali pernah menulis karya mengenai logika dan filsafat. Akan tetapi karya tersebut menurut Sayyed Hossein Nasr bukan dalam mengulasnya, melainkan memberikan kritik terhadap pemikiran filsafat.[30] Memang kejeniusan Al Ghazali dalah ilmu fikih, tasawuf dan ushul fikih sangat diakui, tetapi ada beberapa kekurangannya yaitu ia kurang pakar dalam ilmu hadits dan sunnah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam.[31] Akibatnya beliau lebih menyukai filsafat dan tenggelam di dalamnya.  Ini salah satu kekurangan Imam Al Ghazali, walaupun sebenarnya kekurangan tersebut hanya sebatas kepada keilmuwannya dalam hal filsafat.



    [1] Asrorun Niam, Reorientasi Pendidikan Islam; Mengurai Relevansi Konsep al Ghazali Dalam Konteks Kekinian,  (cet.4, Jakarta, Elsas, 2006), h.23.
    [2] Jamal Sa’ad Mahmud Juma’ah, Fi Riyadhi Al Tasawwuf al Islami, (cet.1, Kairo, Universitas Al Azhar, 1998),h.122
    [3] Lihat Abu Hamid Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, ta’liq dan syarh oleh Thoha Abdul Rauf Sa’ad, (cet.1. Kairo, Maktabah Shafa, 2003),h.9.
    [4] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (cet.2, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2013),h.25
    [5] Asrorun Niam, Reorientasi Pendidikan Islam; Mengurai Relevansi Konsep al Ghazali Dalam Konteks Kekinian,  (cet.4, Jakarta, Elsas, 2006), h.24.
    [6] Lihat Abu Hamid Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, ta’liq dan syarh oleh Thoha Abdul Rauf Sa’ad, (cet.1. Kairo, Maktabah Shafa, 2003),h.9.
    [7] Asrorun Niam, Reorientasi Pendidikan Islam; Mengurai Relevansi Konsep al Ghazali Dalam Konteks Kekinian,  (cet.4, Jakarta, Elsas, 2006), h.24. lihat juga Jamal Sa’ad Mahmud Juma’ah, Fi Riyadhi Al Tasawwuf al Islami, (cet.1, Kairo, Universitas Al Azhar, 1998),h.122. pendapat yang mengatakan bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah Thusi yaitu tempat kelahirannya. Pendapat ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir, Pendapat kedua mengatakan bahwa penyandaran nama beliau kepada mata pencaharian ayahnyasehingga nisbatnya  ditasydid (Al Ghazzali). Pendapat kedua dikuatkan oleh Ibnul Atsir, Imam Nawawi, dab Ibnul Assam. Lihat buku Muhammad Adib Fuadi Nuriz, Ilmu Perbandingan agama, (cet.1, Spirit for  Education and Development),h.185.
    [8] Asrorun Niam, Reorientasi Pendidikan Islam; Mengurai Relevansi Konsep al Ghazali Dalam Konteks Kekinian,  (cet.4, Jakarta, Elsas, 2006).h.27.
    [9] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (cet.2, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2013),h.25.
    [10]Musthafa Abdul Jawwad ‘Imran, Al Sadad FI Al Irsyad ila Al Iqtishad fi Al I’tiqad, cet.1, Kairo, Darul Bashair, 2009),h.21.
    [11] Nama lengkapnya Abu Al Ma’ali Abdul Malik Al Juwaini ia adalah seorang ulama yang beraqidah Asya’irah. Bahkan beberapa peniliti mengatakan ia merupakan pendiri kedua dari madzhab Asy’ari. Lihat Yusuf Al Qaradhawi, Fushulun Fi Al Aqidah Baina Al Salaf Wa Al Khalaf, (cet.2. Kairo, Maktabah Wahbah, 2006),h.138.
    [12] Jamal Sa’ad Mahmud Jum’ah, Fi Riyadhi Al Tasawwuf al Islami, (cet.1, Kairo, Universitas Al Azhar, 1998),h.123.
    [13] Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (cet.5, Penerbit Universitas Indonesia, 2011),h.70.
    [14] Nama lengkapnya Abu Ali Al Hasan bin Ali bin Ishaq Al Thusi lebih dikenal dengan Nidzam Al mulk.  Ia lahir pada tahun 408 H di daerah yang bernama Nishabur. Ia pernah menuntut ilmu Fikih Syafi’i, kemudian ia pun sempat membelajari ilmu manajemen administrasi hingga ahli dalam hal tersebut. Lalu ia pun menjadi perdana menteri pada kesultanan Saljuk. Ia merupakan perdana menteri yang bermadzhab fikih Syafi’i dan berpaham teologi Asy’ari. Dimasa jabatannya, ia telah membangun 9 universitas dibeberapa kota besar saat itu, dan yang paling masyhur ialah madrasah Nidzamiyah di Baghdad  yang dinisbah kepada namanya. Abu Ishaq Al Syirazy sempat mengajar di Madrasah Nidzamiyah Baghdad, sedangkan Imam Al Haramain sempat mengajar di Madrasah Nidzamiyah di Nishabur. Lihat buku Akram Yusuf Umar Al Qawasimy, Al Madkhal Ila Madzhab Al Imam As Syafi’i, (cet.2, Dar Al Nafais, Yordania, 2008),h.353-354.
    [15] Madrasah Nizhamiyah didirikan oleh bani Saljuk yang berfaham Sunni dibangun pada tahun 457 H/1065 M di kota Baghdad. Salah satu motifasi dalam membangun madrasah ini ialah untuk membasmi faham Syiah yang sebelumnya dikuasai oleh Dinasti Buwaihi di Irak dan masuk ke kota Baghdad. Penaklukan Dinasti Buwaihi oleh Bani Saljuk terjadi pada tanggal 25 muharram 447 H. Dengan berdirinya madrasah Nizhamiyah, mereka berkeyakinan akan tertanamnya akidah yang kuat, sehingga untuk terwujud itu semuanya dengan membangun sebuah madrasah. Adapun dinasti Buwaihi adalah salah satu dinasti Abbasiyyah yang beraliran Syiah yang muncul pada tahun 324 H/935 M. Dinasti ini muncul sebagai pemegang kekuasaan di Irak dan Iran Baratyang didahului oleh sebuah periode perpecahan di dalam kerajaan Abbasiyah, lepasnya kendali kekuassaan khalifah dan maraknya perselisihan di masyarakat Baghdad. Lihat Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Masa Periode Klasik dan Pertengahan, (cet.4, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2013),h.62. lihat juga Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya, (cet.1. Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2012),h.223.
    [16] Jamal Sa’ad Mahmud Jum’ah, Fi Riyadhi Al Tasawwuf al Islami, (cet.1, Kairo, Universitas Al Azhar, 1998),h.123.
    [17] Asrorun Niam, Reorientasi Pendidikan Islam; Mengurai Relevansi Konsep al Ghazali Dalam Konteks Kekinian,  (cet.4, Jakarta, Elsas, 2006).h.28.
    [18] Asrorun Niam, Reorientasi Pendidikan Islam; Mengurai Relevansi Konsep al Ghazali Dalam Konteks Kekinian,  (cet.4, Jakarta, Elsas, 2006).h.28.
    [19] Menurut Jamal Sa’ad bahwa yang dimaksud dengan zawiyah keberadaannya ada di masjid Umawy Damaskus kurang lebih di sebelah Barat Masjid Umawy. Jamal Sa’ad Mahmud Jum’ah, Fi Riyadhi Al Tasawwuf al Islami, (cet.1, Kairo, Universitas Al Azhar, 1998),h.125.
    [20] Asrorun Niam, Reorientasi Pendidikan Islam; Mengurai Relevansi Konsep al Ghazali Dalam Konteks Kekinian,  (cet.4, Jakarta, Elsas, 2006).h.29.
    [21] Asrorun Niam, Reorientasi Pendidikan Islam; Mengurai Relevansi Konsep al Ghazali Dalam Konteks Kekinian,  (cet.4, Jakarta, Elsas, 2006).h.30
    [22] Jamal Sa’ad Mahmud Jum’ah, Fi Riyadhi Al Tasawwuf al Islami, (cet.1, Kairo, Universitas Al Azhar, 1998),h.125.
    [23] Lihat Abu Hamid Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, ta’liq dan syarh oleh Thoha Abdul Rauf Sa’ad, (cet.1. Kairo, Maktabah Shafa, 2003),h.14.
    [24] Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam, (cet.1, Tangerang Selatan, Serat Alam Media, 2005),h.115.
    [25] Menurut Hamid Fahmi Zarkasy bahwa Al Ghazali tidak menolak filsafat, melainkan ia mengkritik prinsip-prinsip berfikir para pemikir filosof. Selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam, menurutny Islam masih menerima filsafat. Menurutnya pula, seperti Ibnu Taimiyah ternyata ia masih menerima filsafat tetapi dengan syarat yaitu berdasarkan pada akal dan berpijak pada kebenaran yang dibawa oleh Nabi. Menurut Hamid Fahmi Zarkasy bahwa tujuan mempelajari filsafat tiada lain untuk mengetahui konsep-konsep penting dalam  filsafat Islam. Selain itu juga menurutnya, untuk merujuk kembali konsep-konsep filsafat dari konsep-konsep seminal dalam Al Quran dan Hadits. Lihat Hamid Fahmi Zarkasy, Framework Kajian Filsafat Islam, (jurnal Tsaqafah ISID Gontor, volume 2, nomor 2, 2006/1427).  
    [26] Bukti lain dapat kita sampaikan berupa kitab yang dimiliki oleh Al Ghazali bernama Rissalah Nizhamiyah. Buku tersebut dipersembahkan oleh Imam Al Ghazali kepada Nizham Mulk yag saat itu ia termasuk perdana menteri yang berpaham teologi Asy’ari. Dalam kitab tersebut Imam Al Ghazali lebih menguatkan methode Tafwidh dari methode Takwil, dan sama sekali dalam buku tersebut Al Ghazali tidak mencela dari aqidah Asy’ari. Lihat buku Hamdhi Sinan dan Fauzi Al ‘Anjari, Ahlu Sunnah Al Asya’irah Syahadatu Ulama Al Ummah Wa Adillatuhum, (cet.1. Kairo, Dar Dhiya, 2006),h.75.
    [27] Fauzi Al Anjari, Ahlu Sunnah Al Asya’irah Syahadatu Ulama Al Ummah Wa Adillatuhum, (cet.1. Kairo, Dar Dhiya, 2006),h.75. lihat Yusuf Al Qaradhawi, Fushulun Fi Al Aqidah Baina Al Salaf Wa Al Khalaf, (cet.2. Kairo, Maktabah Wahbah, 2006),h.136-142.
    [28] Musyrifah  Sunanto, Sejarah Islam klasik; Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (cet.4. Jakarta, Kencana, 2011),h.95.
    [29] Musyrifah  Sunanto, Sejarah Islam klasik; Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (cet.4. Jakarta, Kencana, 2011),h.96.
    [30] Didin Saefudin Buchori, Metodologi Studi Islam, (cet.1. Tangerang Selatan, Penerbit Serat Alam Media, 2005),h.116.
    [31] Adib Fuadi Nuriz, Ilmu Perbandingan Agama, (cet.1, Spirit for Education Development, Yogyakarta),h.188.

    No comments

    Post Top Ad

    ad728

    Post Bottom Ad

    ad728