Sejarah Hidup Al Ghazali
Sejarah Hidup
Al Ghazali
Syekh Al Ghazali merupakan ulama Islam
yang sangat karismatik melalui karyanya yang fenomenal berupa kitab ihya
ulumuddin. Nama lengkap beliau adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Ahmad Al Ghazali.[1]
Ada pendapat lain yang mengatakan nama lengkap al Ghazali ialah Abu Hamid
Zaenal Abidin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad At Tusi yang lebih
dikenal dengan Al Ghazali.[2]
Adapula yang mengatakan nama lengkapnya ialah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
bin Muhammad bin Ahmad At Thusi As Syafi’i Al Ghazali.[3] Ia
lahir di sebuah perkampungan kecil bernama Ghazalah, daerah Thus, Khurasan,
suatu daerah di Persia yang saat ini dikenal dengan negara Iran, pada tahun 450
H/1058 M.[4] Al
Ghazali tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang sederhana dan saleh. Ayahnya
bernama Muhammad seorang buta huruf, mata pencahariaannya sebagai penenun wol
dengan pendapatan yang pas-pasan. Namun keterbatasan ekonomi tidak menghalangi
dirinya untuk bertemu dengan para ulama dan pemikir dalam pertemuan ilmiah.[5]
Ayahnya Al Ghazali sangat aktif mengikuti pertemuan ilmiah dengan para pemikir
maupun ulama pada masanya, hingga terinspirasi pada dirinya untuk memberikan
pendidikan terbaik kepada anaknya Al Ghazali dan adiknya Ahmad, dengan penuh
harapan semoga keduanya dapat menjadi ilmuwan di masa yang akan datang.
Muhammad sempat menitipkan kedua anaknya Al Ghazali dan Muhammad kepada salah
seorang sufi serta mewariskan hartanya untuk biaya pendidikan kedua anaknya.
Sufi tersebut merupakan salah satu teman dekat dari ayahnya Al Ghazali. Namun
Ahmad adiknya Al Ghazali wafat ketika Al Ghazali masih kecil.[6]
Para peneliti telah berselisih pendapat
mengenai asal muasal sebutan Al Ghazali. Di antara peneliti ada yang mengatakan
bahwa sebutan tersebut dinisbahkan kepada daerah tempat kelahirannya Al
Ghazali, yakni Ghazalah. Ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwa sebutan
Ghazali berasal karena latar belakang profesi ayahnya ghazzal al shuf (pemintal benang wol).
Pendapat kedua ini menandakan bahwa istilah tersebut disesuaikan dengan
pekerjaan ayahnya sebagai pemintal tenun.[7]
Al Ghazali untuk pertama kalinya
menuntut ilmu di kota Thus. Di kota ini ia mempelajari ilmu fikih kepada syekh
Ahmad bin Muhammad Al Radzkani.[8] Selanjutnya ia berangkat ke Jurjan melanjutkan
studi hadits pada seorang ulama mazhab Syafi’i bernama Abu Al Qasim Al Isma’ili
[9]
kemudian ia kembali lagi ke kota Thus dan tinggal di kota tersebut selama 3
tahun.[10] Lalu
ia pergi ke kota Nisabur dan bertemu dengan Syekh Al Juwaini[11]
dan banyak mempelajari beberapa disiplin ilmu kepada Imam Juwaini di madrasah
Nizhamiyah yang saat itu termasuk madrasah yang sangat besar di kota Nisabur,
dan Imam Haramain merupakan kepala madrasah tersebut. Ilmu-ilmu yang dipelajari
oleh Al Ghazali kepada Imam Haramain antara lain: mantiq, falsafah, hingga Al
Ghazali dapat menguasainya dengan baik pada waktu yang tidak terlalu lama.[12] Meskipun
menurut beberapa peneliti bahwa Imam Haramain bukan seorang filosof, tetapi ia
mengajarkan studi filsafat kepada Imam Al Ghazali. Disinilah Al Ghazali pertama
kalinya mengenal ilmu kalam dan filsafat. Al Ghazali sangat antusias untuk
menimba ilmu kepada Imam Juwaini hingga akhir hayatnya pada tahun 478 H yang
saat itu Al Ghazali berumur 28 tahun. Kecerdasan Imam Al Ghazali sangat
mengundang kekaguman gurunya Imam Haramain, maka ia pun diangkat oleh gurunya
untuk menjadi asisten pengajar Imam Haramain. Lalu ia pun diangkat untuk
menjadi guru besar di madrasah Nizhamiyah setelah wafatnya Imam Haramain pada
tahun 478 H. Menurut Munawwir Sadzali, saat Al Ghazali menimba ilmu kepada Imam
Juwaini, ia merasakan kebimbangan yang didapatkan dari gurunya. Lalu ia
menggabungkan diri dengan sebuah kelompok yang bernama “Nizam al Mulk”, suatu kelompok yang saat itu
menarik bagi para cendekiawan muslim.[13]
Kelompok ini terletak disebuah daerah yang bernama mu’askar. Di tempat tersebut
ia bertemu dengan Nidzam al Mulk,[14]
seorang menteri kerajaan Saljuk di bawah Malik Syah yang terkenal cukup
berilmu. Ia sangat dikagumi saat berada di kelompok tersebut hingga akhirnya ia
diminta untuk mengajar pada Madrasah Nizhamiyah[15]
yang berada di kota Baghdad.[16]
Al Ghazali memulai aktifitasnya sebagai guru besar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, pada tahun
481 H/1091 M dalam usia 31 tahun. Memasuki usia 34 tahun ia ditunjuk
sebagai Rektor Universitas.[17]
Ketika aktif mengajar di Baghdad, Al Ghazali melahirkan
beberapa karyanya yang berkualitas, di antaranya; al Basith, al Wasith, al
Wajiz, al Khulashoh fi ‘ilm al Fiqh, al Munqil fi ‘Ilm al Jidal, Makhhadz al
Khilaf, dan al Mabadi’ wa al Ghayat fi Fann al Jidal. Dalam kesempatan
mengajar tersebut, ia aktif dalam mempelajari beberapa ilmu pengetahuan seperti
filsafat Yunani, dan berbagai aliran pemikiran yang berkembang saat itu, dengan
tujuan agar dapat mendapatkan kebenaran pada pengetahuan.[18]
Serta ia aktif untuk memberikan kritikan
terhadap pemikiran-pemikiran pada kelompok yang berkembang saat itu di
antaranya; Bathiniyah, Ismailiyyah, dan Filsafat.
Pada tahun 488 H/1095 M, Al Ghazali
meninggalkan Baghdad untuk pergi haji ke Mekkah setelah 4 tahun ia mengajar di
Baghdad. Beberapa peneliti meragukan akan kepergian al Ghazali ke Mekkah hanya
untuk menunaikan haji, melainkan pada waktu tersebut diyakini sebagai awal mulanya
Al Ghazali mendalami sufisme. Bahkan diyakini bahwa Al Ghazali sudah tidak
tertarik dengan keadaan kota Baghdad. Suasana Baghdad menurutnya sudah tidak
mendukung untuk mendalami sufisme, sehingga akhirnya ia meninggalkan kota
tersebut. Perjalanan sufistik Al Ghazali mula-mula pergi ke Siria pada tahun
479 H dan menetap di masjid Umawy sambil mengajar di Zawiyah[19].
Lalu ia pun pergi ke Baitul Maqdis dan banyak melalukan ibadah disana. Adapula
yang mengatakan ia sempat berkunjung ke kota Iskandariyah meski hanya sebentar.
Lalu ia kembali ke kota Thus dan banyak menyibukkan dengan ilmu. Ia mengajar
sambil menulis buku di daerah kelahirannya. Pada tahun 490 H ia kembali ke
Siria dan ia didesak oleh anaknya untuk kembali ke Baghdad. Pada tahun tersebut
ia kembali ke Baghdad.[20]
Tetapi Baghdad sudah menjadi kota yang
cukup tidak nyaman bagi perenungannya. Akhirnya, pada tahun 492 H/1099 M Al
Ghazali meninggalkan kota Baghdad dan kembali ke kota Thus. Cukup lama ia
melakukan kehidupan zuhud, tafakkur, sehingga ia rela meninggalkan
keluarganya dan hanya pada waktu-waktu tertentu saja ia menjumpai keluarganya.
Masa sebelas tahun penyendiriannya telah
mengantarkan Al Ghazali kepada puncak spiritual. Ia berketetapan hati untuk
mengakhiri dan kembali mengajar di madrasah Nidzam Mulk atas permintaan Fakh Al
Mulk, putera Nidzam Mulk. Ia mengajar disana selama 3 tahun lamanya. menginjak
tahun ke empat ia kembali ke kota Thus dan mendirikan lembaga pendidikan di
samping rumahnya. Ia pun wafat di kota Thus pada hari ahad 14 jumadil akhir
tahun 505 H/1111 M dalam usia 53 tahun.[21]
Adapula yang menyatakan bahwa al Ghazali wafat pada hari senin 14 jumadal akhir
505 H.[22] Menurut
Thoha Abdul Rauf Sa’ad bahwa Ibnu katsir menceritakan wasiat imam Al Ghazali
saat di akhir hayatnya dalam kitab Bidayah Wa Nihayah untuk selalu
melakukan perbuatan dengan ikhlas, dan ia pun mengulang kalimat ikhlas hingga
menghembuskan nafas terakhirnya.[23] Ia
merupakan ilmuwan dalam khazanah Tasawwuf sebagai tokoh penengah. Perjalanan
keilmuwannya berakhir setelah mendalami tasawwuf.[24]
Perjalanan intelektual Imam Al Ghazali
sangat baik untuk kita amati. Perjalanan intelektualnya baik dalam mempelajari
ilmu kalam, filsafat, hingga ia menjadi sosok ilmuwan yang ahli dalam teolog
tidak luput dari sifat kontroversi. Salah satu kontroversi yang kami dapatkan
tiada lain akan pengaruh filsafat pada dirinya.[25]
Hingga akhirnya, ada beberapa orang mengatakan bahwa Al Ghazali di akhir hidupnya
ia taubat dari pengaruh Aqidah Al Asy’ari. Menurut penelitian kami, yang
dimaksudkan di atas ialah bahwa Al Ghazali dan beberapa ulama Aqidah lainnya
kembali dari methode Takwil ke methode Tafwidh dalam hal ayat-ayat Al Quran yang membicarakan
mengenai Mutasyabihat. Methode Takwil merupakan methode yang dipakai
oleh jumhur ulama salaf dalam memahami
ayat Al Quran yang berbicara mengenai mutasyabihat, dengan tujuan agar ayat tersebut
tidak diartikan sama seperti sifat yang dimiliki oleh makhluk.[26]
Menurut Al Ghazali, sangat fatal dan berbahaya jika ayat mutasyabihat diartikan
dengan Zhahir Nas (tekstual). Akibatnya,
akan lahir perumpamaan dari sifat-sifat Allah SWT yang menyerupai seperti
manusia maupun makhluk lainnya. Ini sangat bertentangan dengan Aqidah Islam
maupun pemahaman ulama salaf.[27]
Dari
beberapa literatur disebutkan, bahwa pengaruh filsafat terhadap diri Al
Ghazali sangat kuat. Beliau sempat menyusun buku yang berisikan bantahan terhadap
Filsafat yang berjudul Tahafut. Memang awalnya ia merasakan syak
terhadap segalanya. Ia pun ragu terhadap ilmu kalam karena ia dapatkan
beberapa aliran yang bertentangan. Lalu ia pun mempelajari filsafat, dan banyak
ia dapatkan dalam filsafat yang bertentangan dengan Islam. Lalu dengan
munculnya buku Tahafut tiada lain membantah dan mengkritik
pemikiran-pemikiran filsafat.[28]
Memang dalam buku tersebut Al Ghazali banyak menyebutkan
kejelakan-kejelakan filsafat walaupun ada sebagiannya yang dianggap benar. Hingga
akhirnya ia dekat dengan tasawwuf, tiada lain karena ia merasakan akan
ketenangan hatinya. Walaupun demikian, Al Ghazali tetap mempelajari filsafat
meskipun ia ragu terhadap Filasafat. Ia
pun tidak luput untuk memberikan kritikan terhadap filsafat, hingga kritikannya
tidak dapat dibantahkan. Tentu kritikannya menggunakan methode filsafat dari
hasil kajiannya yang mendalam terhadap filsafat itu sendiri. Hingga akhirnya ia
dapat memberikan karya yang sangat fonumental berupa buku Ihya Ulumuddin dan
kitab Tahafut Al Falasifah. Ahli sejarah menyatakan, bahwa munculnya
kedua buku tersebut tiada lain karena saat itu banyak bermunculan pemikiran
bebas, hingga akhirnya orang-orang banyak yang meninggalkan ibadah.[29]
Al Ghazali pernah menulis karya mengenai
logika dan filsafat. Akan tetapi karya tersebut menurut Sayyed Hossein Nasr
bukan dalam mengulasnya, melainkan memberikan kritik terhadap pemikiran
filsafat.[30]
Memang kejeniusan Al Ghazali dalah ilmu fikih, tasawuf dan ushul fikih sangat
diakui, tetapi ada beberapa kekurangannya yaitu ia kurang pakar dalam ilmu
hadits dan sunnah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam.[31]
Akibatnya beliau lebih menyukai filsafat dan tenggelam di dalamnya. Ini salah satu kekurangan Imam Al Ghazali,
walaupun sebenarnya kekurangan tersebut hanya sebatas kepada keilmuwannya dalam
hal filsafat.
[1] Asrorun Niam, Reorientasi
Pendidikan Islam; Mengurai Relevansi Konsep al Ghazali Dalam Konteks Kekinian, (cet.4, Jakarta, Elsas, 2006), h.23.
[2] Jamal Sa’ad
Mahmud Juma’ah, Fi Riyadhi Al Tasawwuf al Islami, (cet.1, Kairo, Universitas
Al Azhar, 1998),h.122
[3] Lihat Abu
Hamid Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, ta’liq dan syarh oleh Thoha Abdul Rauf
Sa’ad, (cet.1. Kairo, Maktabah Shafa, 2003),h.9.
[4] Muhammad Iqbal
dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, (cet.2, Jakarta, Kencana Prenada Media Group,
2013),h.25
[5] Asrorun Niam, Reorientasi
Pendidikan Islam; Mengurai Relevansi Konsep al Ghazali Dalam Konteks Kekinian, (cet.4, Jakarta, Elsas, 2006), h.24.
[6] Lihat Abu
Hamid Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, ta’liq dan syarh oleh Thoha Abdul Rauf
Sa’ad, (cet.1. Kairo, Maktabah Shafa, 2003),h.9.
[7] Asrorun Niam, Reorientasi
Pendidikan Islam; Mengurai Relevansi Konsep al Ghazali Dalam Konteks Kekinian, (cet.4, Jakarta, Elsas, 2006), h.24. lihat
juga Jamal Sa’ad Mahmud Juma’ah, Fi Riyadhi Al Tasawwuf al Islami, (cet.1,
Kairo, Universitas Al Azhar, 1998),h.122. pendapat yang mengatakan bahwa
penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah Thusi yaitu tempat kelahirannya.
Pendapat ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir, Pendapat kedua
mengatakan bahwa penyandaran nama beliau kepada mata pencaharian
ayahnyasehingga nisbatnya ditasydid (Al
Ghazzali). Pendapat kedua dikuatkan oleh Ibnul Atsir, Imam Nawawi, dab Ibnul
Assam. Lihat buku Muhammad Adib Fuadi Nuriz, Ilmu Perbandingan agama, (cet.1,
Spirit for Education and
Development),h.185.
[8] Asrorun Niam, Reorientasi
Pendidikan Islam; Mengurai Relevansi Konsep al Ghazali Dalam Konteks Kekinian, (cet.4, Jakarta, Elsas, 2006).h.27.
[9] Muhammad Iqbal
dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga
Indonesia Kontemporer, (cet.2, Jakarta, Kencana Prenada Media Group,
2013),h.25.
[10]Musthafa Abdul
Jawwad ‘Imran, Al Sadad FI Al Irsyad ila Al Iqtishad fi Al I’tiqad, cet.1,
Kairo, Darul Bashair, 2009),h.21.
[11] Nama
lengkapnya Abu Al Ma’ali Abdul Malik Al Juwaini ia adalah seorang ulama yang
beraqidah Asya’irah. Bahkan beberapa peniliti mengatakan ia merupakan pendiri
kedua dari madzhab Asy’ari. Lihat Yusuf Al Qaradhawi, Fushulun Fi Al Aqidah
Baina Al Salaf Wa Al Khalaf, (cet.2. Kairo, Maktabah Wahbah, 2006),h.138.
[12] Jamal Sa’ad
Mahmud Jum’ah, Fi Riyadhi Al Tasawwuf al Islami, (cet.1, Kairo,
Universitas Al Azhar, 1998),h.123.
[13] Munawir
Sadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (cet.5,
Penerbit Universitas Indonesia, 2011),h.70.
[14] Nama
lengkapnya Abu Ali Al Hasan bin Ali bin Ishaq Al Thusi lebih dikenal dengan
Nidzam Al mulk. Ia lahir pada tahun 408
H di daerah yang bernama Nishabur. Ia pernah menuntut ilmu Fikih Syafi’i,
kemudian ia pun sempat membelajari ilmu manajemen administrasi hingga ahli
dalam hal tersebut. Lalu ia pun menjadi perdana menteri pada kesultanan Saljuk.
Ia merupakan perdana menteri yang bermadzhab fikih Syafi’i dan berpaham teologi
Asy’ari. Dimasa jabatannya, ia telah membangun 9 universitas dibeberapa kota
besar saat itu, dan yang paling masyhur ialah madrasah Nidzamiyah di
Baghdad yang dinisbah kepada namanya.
Abu Ishaq Al Syirazy sempat mengajar di Madrasah Nidzamiyah Baghdad, sedangkan
Imam Al Haramain sempat mengajar di Madrasah Nidzamiyah di Nishabur. Lihat buku
Akram Yusuf Umar Al Qawasimy, Al Madkhal Ila Madzhab Al Imam As Syafi’i,
(cet.2, Dar Al Nafais, Yordania, 2008),h.353-354.
[15] Madrasah
Nizhamiyah didirikan oleh bani Saljuk yang berfaham Sunni dibangun pada tahun
457 H/1065 M di kota Baghdad. Salah satu motifasi dalam membangun madrasah ini
ialah untuk membasmi faham Syiah yang sebelumnya dikuasai oleh Dinasti Buwaihi
di Irak dan masuk ke kota Baghdad. Penaklukan Dinasti Buwaihi oleh Bani Saljuk
terjadi pada tanggal 25 muharram 447 H. Dengan berdirinya madrasah Nizhamiyah,
mereka berkeyakinan akan tertanamnya akidah yang kuat, sehingga untuk terwujud
itu semuanya dengan membangun sebuah madrasah. Adapun dinasti Buwaihi adalah
salah satu dinasti Abbasiyyah yang beraliran Syiah yang muncul pada tahun 324
H/935 M. Dinasti ini muncul sebagai pemegang kekuasaan di Irak dan Iran
Baratyang didahului oleh sebuah periode perpecahan di dalam kerajaan Abbasiyah,
lepasnya kendali kekuassaan khalifah dan maraknya perselisihan di masyarakat
Baghdad. Lihat Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Masa Periode
Klasik dan Pertengahan, (cet.4, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,
2013),h.62. lihat juga Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan
Institusi Pendidikannya, (cet.1. Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,
2012),h.223.
[16] Jamal Sa’ad
Mahmud Jum’ah, Fi Riyadhi Al Tasawwuf al Islami, (cet.1, Kairo,
Universitas Al Azhar, 1998),h.123.
[17] Asrorun Niam, Reorientasi
Pendidikan Islam; Mengurai Relevansi Konsep al Ghazali Dalam Konteks Kekinian, (cet.4, Jakarta, Elsas, 2006).h.28.
[18] Asrorun Niam, Reorientasi
Pendidikan Islam; Mengurai Relevansi Konsep al Ghazali Dalam Konteks Kekinian, (cet.4, Jakarta, Elsas, 2006).h.28.
[19] Menurut Jamal
Sa’ad bahwa yang dimaksud dengan zawiyah keberadaannya ada di masjid Umawy
Damaskus kurang lebih di sebelah Barat Masjid Umawy. Jamal Sa’ad Mahmud Jum’ah,
Fi Riyadhi Al Tasawwuf al Islami, (cet.1, Kairo, Universitas Al Azhar,
1998),h.125.
[20] Asrorun Niam, Reorientasi
Pendidikan Islam; Mengurai Relevansi Konsep al Ghazali Dalam Konteks Kekinian, (cet.4, Jakarta, Elsas, 2006).h.29.
[21] Asrorun Niam, Reorientasi
Pendidikan Islam; Mengurai Relevansi Konsep al Ghazali Dalam Konteks Kekinian, (cet.4, Jakarta, Elsas, 2006).h.30
[22] Jamal Sa’ad
Mahmud Jum’ah, Fi Riyadhi Al Tasawwuf al Islami, (cet.1, Kairo,
Universitas Al Azhar, 1998),h.125.
[23] Lihat Abu
Hamid Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, ta’liq dan syarh oleh Thoha Abdul Rauf
Sa’ad, (cet.1. Kairo, Maktabah Shafa, 2003),h.14.
[24] Didin
Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam, (cet.1, Tangerang Selatan,
Serat Alam Media, 2005),h.115.
[25] Menurut Hamid
Fahmi Zarkasy bahwa Al Ghazali tidak menolak filsafat, melainkan ia mengkritik
prinsip-prinsip berfikir para pemikir filosof. Selama tidak bertentangan dengan
ajaran Islam, menurutny Islam masih menerima filsafat. Menurutnya pula, seperti
Ibnu Taimiyah ternyata ia masih menerima filsafat tetapi dengan syarat yaitu
berdasarkan pada akal dan berpijak pada kebenaran yang dibawa oleh Nabi.
Menurut Hamid Fahmi Zarkasy bahwa tujuan mempelajari filsafat tiada lain untuk
mengetahui konsep-konsep penting dalam
filsafat Islam. Selain itu juga menurutnya, untuk merujuk kembali
konsep-konsep filsafat dari konsep-konsep seminal dalam Al Quran dan Hadits.
Lihat Hamid Fahmi Zarkasy, Framework Kajian Filsafat Islam, (jurnal
Tsaqafah ISID Gontor, volume 2, nomor 2, 2006/1427).
[26] Bukti lain
dapat kita sampaikan berupa kitab yang dimiliki oleh Al Ghazali bernama Rissalah
Nizhamiyah. Buku tersebut dipersembahkan oleh Imam Al Ghazali kepada Nizham
Mulk yag saat itu ia termasuk perdana menteri yang berpaham teologi Asy’ari.
Dalam kitab tersebut Imam Al Ghazali lebih menguatkan methode Tafwidh dari
methode Takwil, dan sama sekali dalam buku tersebut Al Ghazali tidak
mencela dari aqidah Asy’ari. Lihat buku Hamdhi Sinan dan Fauzi Al ‘Anjari, Ahlu
Sunnah Al Asya’irah Syahadatu Ulama Al Ummah Wa Adillatuhum, (cet.1. Kairo,
Dar Dhiya, 2006),h.75.
[27] Fauzi Al
Anjari, Ahlu Sunnah Al Asya’irah Syahadatu Ulama Al Ummah Wa Adillatuhum, (cet.1.
Kairo, Dar Dhiya, 2006),h.75. lihat Yusuf Al Qaradhawi, Fushulun Fi Al
Aqidah Baina Al Salaf Wa Al Khalaf, (cet.2. Kairo, Maktabah Wahbah,
2006),h.136-142.
[28] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam klasik;
Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (cet.4. Jakarta, Kencana, 2011),h.95.
[29] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam klasik;
Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (cet.4. Jakarta, Kencana, 2011),h.96.
[30] Didin Saefudin
Buchori, Metodologi Studi Islam, (cet.1. Tangerang Selatan, Penerbit
Serat Alam Media, 2005),h.116.
[31] Adib Fuadi
Nuriz, Ilmu Perbandingan Agama, (cet.1, Spirit for Education
Development, Yogyakarta),h.188.
No comments