• Klasifikasi Ilmu Menurut Imam Al Ghazali


                        Klasifikasi Ilmu Menurut Imam Al Ghazali
    Pembahasan kali ini merupakan bagian yang sangat penting dari bangunan pemikiran Al Ghazali terhadap pendidikan. Sebenarnya, penulis sangat kurang dalam data-data ilmiah untuk menyelesaikan permasalahan ini. Tetapi penulis akan mencoba untuk mengungkapnya dengan data dan sumber yang dimiliki. Jika ada kekurangannya, maka ini sebab akan keterbatasan penulis.
    Perlu untuk dicatat, bahwa klasifikasi tidak sama artinya dengan dikotomi.  Klasifikasi hanya bersifat kepada pembagian, lain halnya dengan dikotomi, ia menunjukan kepada pemisahan terhadap sesuatu. Dari uraian ini, menurut beberapa peneliti bahwa Al Ghazali sangat terkenal dengan tokoh yang telah mengemukakan seputar dikotomi ilmu.[1] Meskipun penulis tidak sependapat dengan hal tersebut.
    Memang setiap ilmuwan dalam sebuah bidang ilmu, telah berbeda pendapat akan pentingnya ilmu. Seperti halnya mutakallimin menganggap ilmu kalam yang sangat penting pertama kali untuk dipelajari. Para Fuqaha pun berpendapat, bahwa ilmu fikih sangat penting untuk dipelajari pertama kali. Begitupala para ahlu falasifah atau filosof, menganggap ilmu filsafat sangat penting  untuk dipelajari pertama kali. Nampaknya setiap ilmuwan menganggap bahwa ilmunya yang harus pertama kali untuk dipalajari.Tetapi sangat berbeda dengan pandangan Al Ghazali dalam bukunya Ihya, ia mengatakan bahwa yang pertama kali untuk dipelajari bagi umat muslim ialah kalimat syahadatain dan paham akan maknanya. Menurutnya, tidak wajib bagi umat Islam untuk mempelajari dalil-dalil yang berkenaan dengan hal tersebut. Cukup baginya untuk meyakininya tanpa keraguan pada jiwanya, karena ia termasuk muqallid[2] hanya sekedar mendengar tanpa menganalisa dalil-dalil. Alasan Al Ghazali ialah jika seorang tersebut meninggal dunia, maka ia berada dalam beriman kepada Allah SWT tanpa bermaksiat kepada-NYA.[3] Dalam hal ini dapat dikatakan, bahwa Al Ghazali lebih menekankan kepada umat Islam untuk mempelajari ilmu agama khususnya ilmu-ilmu yang berkenaan dengan keesaan Allah SWT.
    Menurut Yusuf Al Qaradhawi, ulama salaf membagi ilmu-ilmu kepada bagian-bagian. Ilmu menurut ulama Salaf mencakup ilmu Syar’i, ilmu-ilmu rasio, ilmu-ilmu lisan, atau secara global terbagi menjadi dua bagian besar, antara lain; ilmu agama, dan ilmu dunia.[4] Adapun ilmu menurut para pemeluk-pemeluk  agama terbagi menjadi 3 bagian penting, di antaranya; pertama: ilmu-ilmu yang paling rendah kedudukannya seperti ilmu menjahit, menenun, kedua: ilmu-ilmu yang paling tinggi kedudukannya ialah ilmu agama yang telah dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW, ketiga: ilmu yang paling pertengahan contohnya ialah ilmu dunia seperti ilmu arsitek, kedokteran.[5]
    Uraian di atas, nampaknya masih belum cukup untuk menjelaskan klasifikasi ilmu. Menurut kami, klasifikasi ilmu menurut Al Ghazali sangat rinci, dan itu disesuaikan dengan masa ia hidup. Salah satu penyebab Imam Al Ghazali mengelompokkan ilmu, karena saat itu terjadi sebuah perkembangan yang amat pesat khususnya dengan keilmuwan. Telah terjadi penerjemahan buku-buku yang amat besar, terutama buku-buku berkenaan dengan filsafat. Begitu pula dengan kemunculannya paham-paham dan aliran pemikiran, hingga Al Ghazali dituntut untuk  menyelami pemikiran-pemikiran tersebut. Menurut Musthafa Imran, setidaknya ada 4 aliran pemikiran yang berkembang di masa hidupnya Al Ghazali, antara lain:[6]
    ·  Al Mutakallimun
    ·  Falasifah
    ·  Bathiniyah
    ·  Sufisme
    Empat aliran pemikiran di atas, merupakan aliran yang saat itu berkembang pesat ditengah-tengah masyarakat, dan memiliki pengaruh yang sangat besar. Pengaruhnya tiada lain dalam hal klasifikasi ilmu yang dilakukan oleh Al Ghazali.  Klasifikasi ilmu yang dilakukan oleh Al Ghazali, bukan berarti menunjukan bahwa Al Ghazali mengesampingkan ilmu-ilmu selain agama. Tentunya klasifikasi disini, sangat memudahkan bagi umat Islam untuk membuka cakrawala pandangannya, terutama dalam maraknya perkembangan ilmu sains dan teknologi saat ini.
                Al Ghazali memberikan klasifikasi ilmu secara garis besar menjadi 2 bagian, pertama: ilmu mukasyafah, kedua: ilmu muamalah. Sedangkan ilmu muamalah yang wajib untuk dikerjakan oleh manusia ada 3, yaitu aqidah, berbuat dan tidak berbuat. Al Ghazali sangat menekankan untuk mempelajari ilmu aqidah yaitu keyakinan yang berkeanaan dengan keesaan Allah. Menurutnya, wajib bagi setiap muslim meyakini dan mengucapkan kalimat syahadatain. Jika telah mengucapkan syahadat, maka ia telah mengerjakan kewajibannya.[7]
                Jika kita rangkum klasifikasi ilmu menurut Imam Al Ghazali, dapat kami rangkum secara global, yaitu ilmu mukasyafah[8] dan ilmu muamalah. Sedangkan ilmu muamalah terbagi menjadi 2 bagian penting, antara lain; ilmu Syar’iyyah dan ghayru Syar’iyyah. Ilmu yang bukan Syar’iyyah terbagi menjadi 3 bagian, antara lain; ilmu yang terpuji, ilmu yang tercela, dan ilmu yang mubah. Ilmu dilihat dari sudut mencarinya, terbagi menjadi 3 bagian, yaitu fardhu ‘ain, fardhu kifayah, dan mubah.[9] Di lain hal Imam Al Ghazali membagi ilmu menjadi 2 bagian, pertama; ilmu Aqliyah (rasio) seperti ilmu kedokteran, ilmu berhitung, ilmu arsitektur. Kedua; ilmu Diniyah (religius) seperti, ilmu kalam, ilmu Fikih, Ilmu Ushul Fikih, Ilmu Hadits, Ilmu Tafsir, Ilmu hakekat.[10]
                Berikut uraian contoh-contoh ilmu  yang dihasilkan atas klasifikasi ilmu oleh Imam Al Ghazali:
                                    1.            Ilmu atau pelajaran tergolong fardhu ‘ain, dengan artian wajib bagi setiap individu muslim untuk mempelajarinya, jika tidak mempelajarinya maka berdosa baginya. Ilmu tersebut berkenaan dengan keesaan Allah SWT (Tauhid). Ilmu ini wajib hukumnya untuk dipelajari oleh setiap individu muslim.
                                    2.            Ilmu-ilmu yang tergolong fardhu kifayah, meliputi ilmu pengetahuan keagamaan dan ilmu pengetahuan umum. Ilmu pengetahuan keagamaan, misalnya:[11]
    Ø  Ilmu kalam
    Ø  Ilmu fikih
    Ø  Ilmu Tafsir
    Ø  Ilmu Hadits
    Ø  Ilmu Ushul Fiqh
    Ø  Ilmu Bahasa
    Ø  Ilmu Pendidikan Agama
    Ø  Ilmu Logika
    Ilmu-ilmu pengetahuan umum , misalnya;
    Ø  Ilmu kedokteran
    Ø  Ilmu Ekonomi
    Ø  Ilmu Hukum
    Ø  Ilmu pengetahuan Alam
    Ø  Ilmu Berhitung
    Ø  Ilmu Industri
    Ø  Ilmu Menjahit
    Ø  Ilmu Politik
    Ø  Ilmu Pertanian
    Ø  Ilmu Filsafat
                                    3.            Ilmu-ilmu yang tergolong mubah untuk dipelajari, misalnya:
    Ø Ilmu tentang Syair
    Ø Ilmu Sejarah
                                    4.            Ilmu-ilmu yang tergolong tercela untuk mempelajarinya, misalnya:
    Ø Ilmu Sihir
    Ø Ilmu mantra/zimat
    Ø Ilmu Sulap
    Dari uraian di atas, yang perlu untuk kita ketahui bersama bahwa Al Ghazali melakukan penggolongan terhadap ilmu-ilmu ke beberapa bagian. Pembagian tersebut tidak menandakan akan ketidaksukaan Al Ghazali terhadap ilmu-ilmu yang bukan kategori Syariah/agama, melainkan Al Ghazali membaginya agar kita semua dapat memahaminya. Al Ghazali meyakini akan hakekat sebuah ilmu, menurutnya ilmu itu satu, semua berasal dari Allah SWT baik yang diperoleh melalui panca indra, akal, dan melalui mukasyafah.[12] Menurut kami, anggapan Al Ghazali menyerupai dengan anggapan Mahmud Syaltut yang mengatakan demikian.[13] Dengan demikian klasifikasi ilmu yang dikemukakan oleh Al Ghazali, bersifat fleksibel memberikan gambaran kepada kita akan berkembangnya dan disesuaikan dengan kondisi zaman serta relevansinya untuk kemajuan umat.



    [1] Baharuddin dan tim penulis, Dikotomi Pendidikan Islam; Historisitas dan Implikasi Pada Masyarakat Islam, (cet.2, Bandung, PT Rosdakarya, 2011),h.196. Dalam buku tersebut, penulis menjelaskan bahwa tokoh-tokoh yang telah menjelaskan seputar dikotomi ilmu di antaranya; Imam Syafi’i, Ibnu Taimiyah, Al Ghazali dan lain sebagainya. Sempat terlintas dalam pemikiran kami, bahwa penulis buku tersebut berupaya untuk menjelaskan bahwa tokoh-tokoh tersebut rentan dengan pemikirannya seputar dikotomi ilmu. Dampaknya yang terjadi, kami melihatnya banyak dari umat islam yang memandang ilmu agama sebelah mata, bahkan sudah dianggap tidak rentan untuk dikaji. Lihat Abu Hamid Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, ta’liq dan syarh oleh Thoha Abdul Rauf Sa’ad, (cet.1. Kairo, Maktabah Shafa, 2003),h.27. lihat pula Zaky Mubarakh Samrakh, Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan dan Manfaatnya bagi Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum di Indonesia, (Tesis Di Uin Jakarta, 1994).
    [2] Yang dimaksud dengan  Al ‘Arif billah ialah seseorang yang meyakini Allah SWT dengan keyakinan kuat serta ia mampu menjelaskan keyakinannya dengan dalil atau bukti yang otentik atau sesuai dengan alam pikiran manusia. lihat Musthafa bin Ahmad Al ‘Aqbawi, Hasyiyah ‘ala Syarh ‘Aqidah Ad Dardiri, (cet terakhir, Kairo, Maktabah Musthafa Al Halabi, 1949),h.8.
    [3] Abu Hamid Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, ta’liq dan syarh oleh Thoha Abdul Rauf Sa’ad, (cet.1. Kairo, Maktabah Shafa, 2003),h.27-28.
    [4] Yusuf Al Qaradhawi, Al ‘Aql wa Al ‘Ilm Fi Al Quran Al Karim, (cet.1, Kairo, Maktabah Wahbah, 1996),h.161.
    [5] Yusuf Al Qaradhawi, Al ‘Aql wa Al ‘Ilm Fi Al Quran Al Karim, (cet.1, Kairo, Maktabah Wahbah, 1996),h.162-163.
    [6] Musthafa Abdul Jawwad ‘imran, As Sadad Fi Al Irsyad ila Al Iqtishad fi Al I’tiqad, (cet.1, Kairo, Darul Bashair, 2009),h.23.
    [7] Zaky Mubarakh Samrakh, Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan dan Manfaatnya bagi Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum di Indonesia, (Tesis Di Uin Jakarta, 1994). Lihat pula Abu Hamid Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, ta’liq dan syarh oleh Thoha Abdul Rauf Sa’ad, (cet.1. Kairo, Maktabah Shafa, 2003),h.30.
    [8]Ilmu mukasyafah menurut Ahmad Tafsir ialah sistem pengetahuan yang berpijak pada asumsi bahwa Tuhan memancarkan pengetahuan-Nya. Tetapi pengetahuan yang dipancarkan-Nya tidak dapat ditangkap oleh panca indera dan rasio. Pengetahuan yang dipancarkan-Nya dapat dipahamai oleh potensi spiritual. Lihat   Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (cet.7, Bandung, Rosdakarya, 2013),h.140.
    [9] Zaky Mubarakh Samrakh, Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan dan Manfaatnya bagi Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum di Indonesia, (Tesis Di Uin Jakarta, 1994). Lihat pula Abu Hamid Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, ta’liq dan syarh oleh Thoha Abdul Rauf Sa’ad, (cet.1. Kairo, Maktabah Shafa, 2003),h.27-30. Menurut Syeh Dardiri bahwa seseorang jika ia telah masuk kategori mukallaf, maka wajib baginya untuk mengetahui sifat-sifat wajib yang dimiliki oleh Allah SWT, begitu pula sifat mustahil, dan sifat jaiz. Lihat Musthafa bin Ahmad Al ‘Aqbawi, Hasyiyah ‘ala Syarh ‘Aqidah Ad Dardiri, (cet terakhir, Kairo, Maktabah Musthafa Al Halabi, 1949),h.8.
    [10] Abu Hamid Al Ghazali, Al Mustashfa, (cet.1, Bulaq, Matba’ah Amiriyah, 1322 H),h.5. lihat pula Asrorun Niam, Reorientasi Pendidikan Islam; Mengurai Relevansi Konsep al Ghazali Dalam Konteks Kekinian,  (cet.4, Jakarta, Elsas, 2006).h.61.
    [11] Abu Hamid Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, ta’liq dan syarh oleh Thoha Abdul Rauf Sa’ad, (cet.1. Kairo, Maktabah Shafa, 2003),h.30-31.
    [12] Zaky Mubarakh Samrakh, Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan dan Manfaatnya bagi Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum di Indonesia, (Tesis Di Uin Jakarta, 1994).
    [13]Ia mengatakan bahwa seseorang yang menyibukkan dirinya untuk mempelajari ilmu perbintangan, kedokteran, ilmu-ilmu berkenaan dengan hewan serta tumbuhan dengan perspektif Islam, maka ia termasuk seseorang  menyampaikan wahyu-wahyu Tuhan yang ada dalam Al Quran. Lihat Mahmud Syaltut, Tafsir Al Quran Al Karim, (cet.14, Kairo, Darus Syuruq, 2010),h.8.  

    No comments

    Post Top Ad

    ad728

    Post Bottom Ad

    ad728