BATASAN-BATASAN DALAM PENGGUNAAN PEMIKIRAN
A.
BATASAN-BATASAN DALAM PENGGUNAAN PEMIKIRAN
Tentunya islam menyerukan
manusia untuk selalu mentafakkuri segala ciptaan Allah SWT yang dapat
mengantarkan manusia kepada keimanan yang kuat.
Dalam hal ini, manusia boleh
menggunakan akalnya untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahuinya, dengan
catatan dapat memberikan manfaat baginya seperti mentafakuri segala sesuatu
yang telah diciptakan Allah SWT kepada manusia, hal ini jika dapat direnungi
dengan baik, maka akan semakin kuat keimanan manusia kepada Allah SWT. Memang
manusia mempunyai kebebasan berfikir, dengan catatan proses berfikirnya tidak
menyimpang terhadap aturan Ilahi. Proses berfikir harus berlandaskan dalil
syar’i merupakan wahyu ilahi bersumber
Al Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.[1]
Namun yang perlu diperhatikan, dalam hal berfikir tentunya manusia mempunyai
keterbatasan. Nabi Muhammad SAW bersabda dalam sebuah hadits:
“Berfikirlah kalian terhadap ciptaan Allah SWT, janganlah
berfikir dalam hal zat Allah SWT.”
Hadits di atas
sangat tegas, bahwa kita wajib untuk tawaqquf terhadap hal-hal yang berkenaan dengan zat
Allah SWT. Pemikiran yang melampaui batas atas zat Allah SWT sangat berdampak
negatif berupa kekufuran. Dalam hal ini,
syetan dapat menyibukkan kita dalam hal berfikir terhadap sesuatu yang sangat
mustahil bagi manusia untuk
mengetahuinya. Hal ini pernah terjadi kepada Nabi Musa, ia menginginkan
melihat Allah SWT saat hidup di dunia,
tetapi hal tersebut tidak terjadi. Kisah ini diceritakan dalam Al Quran:
وَلَمَّاجَاءَ مُوْسىَ لِمِيْقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ
رَبيِّ اَرِنِى اَنْظُرْ اِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِى وَلَكِنِ انْظُرْاِلَى الجَبَلِ
فَاِنِ اسْتَقَرَّمَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِى فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ
جَعَلَهُ دَكًّاوَخَرَّمُوْسَى صَعِقًا فَلَمَّا اَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ
اِلَيْكَ وَاَنَا اَوَّلُ الْمُؤْمِنِيْنَ
“Dan ketika Musa datang untuk munajat pada waktu yang telah kami
tentukan dan Tuhan telah berfirman langsung kepadanya, Musa berkata, ya
Tuhanku, tampakkanlah diriMu kepadaku agar aku dapat melihat engkau. Allah
berfirman, engkau tidakkan sanggup melihatKu, namun lihatlah gunung itu, jika
tetap di tempatnya niscaya engkau dapat melihatKu. Maka ketika Tuhannya
menampakkan keagunganNya kepada gunung itu, gunung itu hancur luluh dan Musa
pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar, dia berkata, maha suci engkau dan aku
adalah orang yang pertama-tama beriman.”[2]
Menurut Ibnu Katsir, bahwa Musa bertaubat dalam hal meminta kepada
Allah untuk melihatNya di dunia, sesungguhnya ia termasuk orang yang
pertama-tama beriman kepada Allah SWT dan tidak akan ada seorang pun dapat melihat
Allah SWT hingga hari kiamat.[3]
Dalam hal ini, dapat kita kaitkan pula dengan masalah sifat –sifat
mutasyabihat. Penulis melihat pada permasalahan ini lebih condong kepada tafwidh
atau menyerahkan langsung hal-hal yang berkaitan pada sifat-sifat mutasyabihah
kepada Allah SWT, tanpa harus tenggelam untuk membahasnya,
ditakutkan memaknai sesuatu sifat yang tidak sesuai dari keinginan Allah SWT.[4]
Penulis lebih condong kepada pandangan mazhab Jumhur Ulama yang lebih
menggunakan tafwidh dalam memaknainya tanpa harus tenggelam sehingga
mengakibatkan kekufuran.[5]
Hal kedua yang
dapat mengganggu bahkan merusak pemikiran manusia, jika ia menggunakan
pemikirannya pada hal-hal yang dapat memberikan mudharat baik kepada dirinya
maupun kepada orang lain. Seseorang boleh menggunakan pikirannya dalam hal
sesuatu dengan batasan tidak menyimpang dari ketentuan Syariah. Adapun
pemikiran yang dapat mengantarkan seseorang kepada kerusakan pada dirinya, maka
hal ini tidak dibenarkan oleh Syariah. Walaupun beralasan kebebasan dalam berfikir.[6]
Oleh karena itu, jika seseorang melakukan sesuatu yang dapat merusak agama,
jiwa, akal, kehormatan, dan hartanya baik pada dirinya maupun kepada orang
lain, hal ini tidak dibenarkan oleh Islam. Salah satu contoh saat ini, Islam
melarang kepada Umatnya untuk menghina Tuhan agama lain yang berbeda, akibat
yang muncul ialah mereka akan menghina Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam Al
Quran:
“Dan janganlah kamu memaki sembahan yang mereka sembah selain
Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar
pengetahuan. Demikianlah, kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan
mereka, kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu dia akan
memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.”[7]
Asbab Nuzul ayat ini, “Abdurrazzaq berkata, Muammar bemeberitahu
kepada kami bahwa Qatadah berkata, dahulu kaum muslimin memaki berhala-berhala
kaum kafir sehingga kaum kafir tersebut memaki Allah. Maka Allah SWT menurunkan
firman-Nya, Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembahselain
Allah.....”[8]
Ibnu katsir telah
menjelaskan pada ayat ini, bahwa Nabi Muhammad SAW dan juga umat Islam dilarang
untuk menghina Tuhan kaum Musyrikin, sebab yang akan terjadi ialah sebuah mafsadah
yang lebih besar berupa kaum musyrik akan menghina Allah SWT.[9]
Menurut kami, akibat dan dampak yang terhadap masalah ini berupa terjadi sebuah
konflik[10]
antara umat beragama. Salah satu faktor terjadinya konflik dapat kami ambil
kesimpulan salah satunya adalah bisa terjadi karena saling mengejek antar umat
beragama terhadap Tuhannya yang diyakini. Dalam Islam konsep dalam Surah Al
kafirun sangat tegas dijelaskan, bahwa
bagimu agamamu, bagiku agamaku. Konsep ini menunjukan kepada dunia, bahwa Islam
adalah agama yang mengajarkan toleransi terhadap agama selain Islam. Tetapi
toleransi disini terkadang disalah gunakan oleh sebagian orang. Kasus yang
terjadi saat ini, penulis melihat Islam sering didzhalimi oleh pemeluk agama
lain. Bahkan pengaruh kaum Islam liberal sangat kuat terhadap pembelaannya
kepada kaum non Muslim. Contoh kasus yang hingga kini masih kita ingat berupa
kerusuhan huru hara yang terjadi di Maluku, bahkan hingga saat ini masih belum
reda.[11]
Begitu pula paham liberalisme, sekulerisme, dan pluralisme telah masuk ke dalam
pikiran masyarakat Indonesia. Paham tersebut sudah sering dikampanyekan oleh
para kaum Islam Liberal di indonesia, sehigga butuh waktu bagi kita selaku
ilmuwan Islam untuk menghilangkan jejak-jejak paham tersebut. Menurut kami,
penyelesaian terhadap menyebarnya paham liberalisme, sekulerisme, dan pluralisme
butuh waktu yang tidak sebentar. Perlu kerja keras dan kerjasama antar sesama
umat Islam di Indonesia. Pengaruh pemikiran tersebut, sudah semakin mengakar
pada sebagian Umat Islam Indonesia.
Menurut Hamid
Fahmi Zarkasy, saat ini umat islam harus mengahadapi dua tantangan pemikiran.
Kedua tantangan pemikiran tersebut berupa tantangan internal dan eksternal.
Tantangan pemikiran internal berupa kejumudan, fanatisme, taqlid, dan bid’ah
khurafat. Sebagai akibatnya adalah semakin merosotnya ijtihad umat Islam dalam
merespon tantangan permasalahan kontemporer. Adapun tantangan eksternal berupa
masuknya paham, konsep, sistem, dan cara pandang asing seperti liberalisme,
sekulerisme, pluralisme, relativisme dan lain sebagainya kedalam wacana
pemikiran keagamaan Islam.[12] Sehingga yang terjadi saat ini, kerancuan
berfikir bukan hanya terhadap Umat Islam melainkan sebagian dari beberapa
intelektual Muslim. Sangat berbahaya dan disayangkan, jika para intelektual
Muslim banyak yang bersujud dan tunduk kepada pemikir Barat yang sama sekali
kebanyakan mereka berlatar belakang non Muslim. Akibatnya, akan terjadi sebuah
konflik internal dalam tubuh Umat Islam karena berdasarkan ide pikiran bahkan
konsep yang sangat berseberangan dengan Islam namun dipertahankan oleh sebagian
oknum pemikir Muslim.
Sebenarnya paham-paham
di atas sering dikampanyekan ke Indonesia akhir-akhir ini, namun paham tersebut
talah mengakar pada peradaban Barat dan telah lama dikampanyekan ke dunia
Islam. Salah satu cara dan jalan yang ditempuh untuk menyebarkan paham-paham
tersebut melalui orientalisme,[13]
missionarisme dan kolonialisme. Bahkan
habieb Rizieq Shihab memperumakan kaum sipilis sama dengan kaum khawarij,
karena mereka lebih banyak memanipulasi nash, baik ayat suci Al Quran maupun
hadits untuk mencari pembenaran terhadap pemikiran mereka.[14]
Oleh karena itu, Al Quran telah memberikan batasan-batasan kepada umatnya dalam
segala hal baik berupa perkataan maupun perbuatan, Hingga pola pemikiran
mempunyai batasan yang telah digariskan oleh Islam. Liberalisme pemikiran,
disebabkan karena pelaku tersebut telah keluar dari frame berfikir menurut Islam, hasilnya terjadi kepincangan/inzilaq
dalam berfikir. Saat ini, yang tejadi ialah keguncangan besar terhadap
pemikiran pendidikan Islam. Banyak kesalahan dalam memahami substansi
pendidikan, karena penyebabnya karena kesalahan dalam berfikir.
[1] Imran Samih Nazzal, Usus
Al Huriyah fi Bina Al Insan wa Al Mujtama’ wa Ad Daulah, (cet.1; Damaskus,
Qutaibah, 2010),h.94.
[2] QS AL A’raf: 143
[3] Ibnu Katsir, Tafsir
Al Quran Al ‘A zim, (cet.1 Kairo; Darul Hadits, 2005),h.514.
[4] Hamdi Sinan dan Fauzi Al
Anjari, Ahlus Sunnah Al Asya’irah, (cet.1, Kairo; Daru Dhiya,
2006),h.144.
[5] Yusuf Hasan Syarah, Al
Ma’mul min ‘Ilm Al Ushul, (cet.1, Kuwait; Universitas Kuwait, 2003),h.78.
[6] Sa’duddin Mus’ad Hilali,
Huquq Al Insan fi Al Islam, (cet.1, Kairo; Maktabah Wahbah, 2010),h.239.
[7] QS: Al An’am 108.
[8] Jalaluddin As Suyuthi, Asbabun
Nuzul, terj Tim Abdul Hayyie, (cet.1: Jakarta; Gema Insani, 2008),h.241.
[9] Ibnu Katsir, Tafsir
Al Quran Al ‘Azim, jilid 3, ditahqiq oleh Sayyed Muhammad Sayyed dkk, (cet.1:
Kairo; Darul Hadits, 2005),h.353.
[10] Secara sederhana konflik
dapat diartikan pertentangan ditandai dengan pergerakan dari beberapa pihak
sehingga terjadi persinggungan. Pertentangan itu bisa terjadi karena perbedaan
ide. Konflik dapat dinilai positif bahkan dapat bernilai negatif. Dalam konflik
keagamaan, hadirnya FKUB dan lembaga lintas agama lainnya juga merupakan aset
bagi terbangunnya lintas agama. Lembaga ini mempunyai peran berupa mediator
perdamaian antar umat beragama. Begitu pula kehadiran NU dan Muhammadiyah dapat
dijadikan sebagai mediator dalam menyelesaikan konflik keagamaan. Lihat Abdul
Jamil Wahab, Manajemen Konflik Keagamaan, (cet.1: Jakarta; PT Alex Media
Komputindo, 2014),h.195.
[11] Adian Husaini, Penyesatan
Opini, (cet.1: Jakarta; Gema Insani Press, 2002),h.13
[12] Hamid Fahmi Zarkasy, Liberalisasi
Pemikiran Islam; Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis, (cet.2:
Gontor; ISID, 2008),h.2.
[13]Secara bahasa
orientalisme berasal dari kata “orient” yang artinya Timur. Secara etnologis,
orientalisme bermakna “bangsa-bangsa di Timur, sementara secara geografis
bermakna “hal-hal yang bersifat Timur, yang sangat luas ruang lingkupnya. Orang
yang menekuni dunia Timur disebut orientalis. Kata “isme” menunjukan pengertian
tentang suatu paham. Jadi biasanya orientalis ialah suatu paham yang membahas
masyarakat Timur dalam hal adat, budaya, sosial masyarakat, bahasa, hingga
ajaran agama yang banyak dianut. Maka tidak salah jika kaum orientalis banyak
yang mahir berbahasa Arab maupun bahasa suatu masyarakat yang menjadi fokus untuk
bahan kajiannya. Lihat Didin Saefudin Buchori, Metodologi Studi Islam, (cet.1:
Tangerang Selatan; Penerbit Serat Alam Media, 2012),h.95.
[14] Habieb Rizieq Shihab, Wawasan
Kebangsaan Menujur NKRI Bersyariah, (cet.1: Jakarta; Suara Islam Press,
2013),h.191.
YESS BRO
ReplyDelete