• URGENSI PEMIKIRAN DALAM AL QURAN


    A.    URGENSI  PEMIKIRAN  DALAM  AL QURAN

                Jika kita membahas definisi pemikiran, maka yang terdetik dalam hati ialah akal. Proses berfikir tidak terlepas dengan akal, karena salah satu sumber dari hasil pemikiran ialah berdasarkan akal. Berfikir merupakan sebuah proses untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui sebelumnya dengan menggunakan akal.[1] Akal merupakan kekuatan yang berada pada tubuh manusia, dengannya ia dapat mengetahui sesuatu dan mendapatkan pengetahuan.[2] Akal merupakan inti dari bagian tubuh manusia, dan ia merupakan salah satu ciptaan Allah SWT diberikan kepada manusia yang sangat mulia. Menurut pemikir Islam kontemporer Mesir Muhammad Imarah dikatakan, bahwa akal merupakan nur, fahmun, dan bashirah, kesemuanya itu merupakan karunia yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia.[3] Menurutnya, sebagian Ulama menyebutkan bahwa akal letaknya ada pada qalb dan ia bukan termasuk bagian dari lima indera, ulama mengambil dalil dari Al Quran  pada surah Al Hajj ayat 46. Menurut kami akal bukan otak dan sangat berbeda dengan otak, karena beberapa ulama mengatakan akal bukan dari bagian panca indera dan kedudukan akal sangat tinggi dari ke lima indera tersebut.[4] Hingga saat ini masih belum ditemukan akan keberadaan akal yang sebenarnya.
                Salah satu hikmah dari penciptaan akal manusia di antaranya mampu memberikan arahan dan jalan antara yang baik dan buruk, mampu menjelaskan segala sesuatu sesuai batasan yang baik maupun buruk, dan akal merupakan salah satu bentuk akan kesempurnaan manusia di antara makhluk lainnya.[5] Allah SWT menciptakan akal kepada manusia untuk merenungkan setiap ciptaannya.[6] Allah SWT  berfirman dalam  Al Quran Al Karim yang berbunyi:
    اِنَّ فِى خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِلَاءَيَاتٍ لِاُوْلِى الْاَلْبَابِ(190)الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ قِيَاماًوَقُعُوْدًاوَعَلَى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِى خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْاَرْضِ رَبَّنَامَاخَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاًسُبْحَانَكَ فَقِنَاعَذَابَ النَّارِ(191)
    “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata, Ya Tuhan kami, tidaklah engkau menciptakan semua ini sia-sia; maha suci engkau, lindungilah kami dari azab neraka.”[7]
    Menurut sebagian ulama, Saat ayat ini turun Nabi Muhammad SAW menangis, lalu Bilal berkata kepada Rasulullah SAW: wahai Rasul mengapa engkau menangis, sesungguhnya Allah SWT telah mengampuni dosa engkau yang dulu dan yang akan datang. Rasulullah berkata: apakah Aku bukan termasuk hamba yang bersyukur, sesungguhnya telah turun kepadaku suatu malam sebuah ayat dan celaka bagi orang yang membacanya dan tidak mentafakkurinya, kemudian Rasulullah SAW menyebutkan  Surah Al ‘Imran ayat 190-191.[8]
    Menurut Yusuf Al Qaradhawi, ayat ini mengajarkan kepada kita untuk selalu mentafakkuri segala sesuatu yang Allah ciptakan berupa langit, bumi, keduanya terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah SWT, dari penciptaan keduanya terdapat hikmah yang sangat besar, dan sangat mustahil bagi Allah SWT menciptakan keduanya dengan kesia-siaan.[9]  Menurut Ibnu Katsir ayat ini menjelaskan pula akan kriteria ulul albab yang selalu mengingat Allah SWT kapan pun, dalam setiap lisan, hati dan segala gerakan.[10] Menurutnya, ayat ini pula menjelaskan akan kebesaran Allah SWT yang telah menciptakan langit dan bumi. Itu semua merupakan tanda kebesaran Allah SWT yang maha pencipta atas segalanya. Ini merupakan salah satu bukti akan keberadaan sosok Allah SWT.
                Islam merupakan agama yang menghargai akal dan pemikiran, dan sangat memuliakan ulul albab dan Nuha. Islam pula menyerukan kepada pemeluknya untuk selalu bertafakkur. Islam sangat memuliakan akal sehingga menjaga akal merupakan bagian dari  al kulliyyat al khams.[11] Sudah banyak kita temukan dalam ayat-ayat suci Al Quran yang menyuruh untuk tafakur dengan menggunakan akal kita.[12] Menurut syeh Ahmad Dardiri, seseorang dikatakan mukallaf jika ia baligh, berakal, dan telah sampai kepadanya dakwah Rasulullah SAW, maka ia wajib untuk menyakini keberadaan Allah SWT dengan keyakinan yang kuat tanpa didasari sifat ragu.[13]
                Kata aql dalam Al Quran disebutkan berjumlah 49 kali. Dari jumlah tersebut, dua di antaranya menggunakan kata kerja masa kini. Kata kerja ta’qilun disebutkan berjumlah 24 kali, kata kerja ya’qilun disebutkan berjumlah 22 kali, dan kata kerja ‘aqala, ta’qilu, ya’qilu disebutkan sekali.[14] Menurut pendapat Quraisy Shihab, kata kerja ‘aql tidak ditemukan dalam Al Quran, yang ada adalah bentuk  kata kerja masa kini, dan lampau.[15] Berikut beberapa ayat Al Quran yang menyebutkan ‘aql dalam bentuk sighoh istifham inkari:

    a.       Surah Al Baqarah ayat 44
    اَتَاْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ اَنْفُسَكُمْ وَ اَنْتُمْ تَتْلُوْنَ الْكِتَابَ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ
    “Mengapa kamu menyuruh orang lain mengerjakan kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu seindiri, padahal kamu membaca kitab Taurat? Tidakkah kamu mengerti.”
    b.      Surah al An ‘am 32
    وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا اِلاَّ لَعِبٌ وَ لَهْوٌ وَلَلدَّارُالْاَخِرَةُ خَيْرُلِلَّذِ يْنَ يَتَّقُوْنَ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ
    Dan kehidupan dunia ini, hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik nagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti?”

    c.       Surah Al Anbiya ayat 10
    لَقَدْ اَنْزَلْنَا اِلَيْكُمْ كِتَابًافِيْهِ ذِ كْرُكُمْ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ
    “Sungguh telah kami turunkan kepadamu sebuah kitab Al Quran yang di dalamnya terdapat peringatan bagimu. Maka apakah kamu tidak mengerti.”
    d.      Surah Al Mu’minun ayat 80
    وَهُوَ الَّذِي يُحْيِ وَ يُمِيْتُ وَ لَهُ اخْتِلَافُ الَّيْلِ وَ النَّهَارِ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ
    “Dan dialah yang menghidupkan dan mematikan, dan dialah yang mengatur pergantian malam dan siang. Tidakkah kamu mengerti.”
    e.       Surah Hud ayat 51
    ياَ قَوْمِ لَا اَسْعَلُكُمْ عَلَيْهِ اَجْرًااَنْ اَجْرِيَ اِلَّا عَلَي الَّذِي فَطَرَنِيْ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ
    Wahai kaumku! Aku tidak meminta imbalan kepadamu atas seruanku ini. Imbalanku hanyalah dari Allah yan telah menciptakanku. Tidakkah kamu mengerti?”
                Di atas merupakan ayat yang menunjukan aql dalam bentuk istifham inkary. Adapun kalimat di dalam Al Quran yang menyebutkan ta’qiluun dapat kita dapatkan pada Surah berikut ini:
    a.       Surah Al Baqarah ayat 242
    كَذَالِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ اَيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ
    Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya agar kamu mengerti.”

    b.      Surah Al Imran ayat 118
    ...قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْاَيَاتِ اِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُوْنَ
    sungguh telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat Kami, jika kamu mengerti.”
    c.       Surah An Nur ayat 61
    ...كَذَالِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمُ الْاَيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ
    Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatNya bagimu, agar kamu mengerti.”
    d.      Surah Yusuf ayat 2
    اِنَّا اَنْزَلْنَاهُ قُرْاَناً عَرَبِياًّ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ
    “Sesungguhnya Kami menurunkanNya berupa Al quran berbahasa Arab, agar kamu mengerti.”
                Pada Surah Yusuf ayat 2, menurut Yusuf Al Qaradhawi bahwa Allah SWT menurunkan Al Quran dengan menggunakan bahasa Arab agar manusia mau merenungkannya, bukan hanya mendengarkan dengan telinga mereka, melainkan mampu befikir dan mentadabburinya.[16]
                 Ayat-ayat di atas merupakan sebuah bukti akan tanda kekuasaan Allah SWT dengan menciptakan akal pikiran kepada manusia. Ini merupakan pemberian dari Allah SWT  kepada manusia sebagai tanda bukti bahwa manusia merupakan makhluk yang paling mulia di sisi Allah SWT.[17]Bukti lain menyebutkan akan kemuliaan manusia dari malaikat, bahwa Malaikat tidak memiliki akal lain dengan manusia, sehingga Allah SWT menyuruh Malaikat untuk bersujud kepada Adam.[18] Dapat kita lihat kisah Adam, Malaikat, dan Iblis saat berada di Surga pada Surah pada Surah Al Baqarah  ayat 34:
    وَاِذْ قُلْنَا لِلْمَلَئِكَةِ اسْجُدُوْا لِاَدَمَ فَسَجَدُوْا اِلَّا اِبْلِيْسَ اَبَى وَاسْتَكْبَرَوَكَانَ مِنَ الْكَافِرِيْنَ
    “Dan ingatlah ketika kami berfirman kepada para Malaikat, sujudlah kamu kepada Adam! Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir.[19]
    Menurut Imam Suyuthi, ayat ini menceritakan bahwa Malaikat dan Jin diperintah oleh Allah SWT untuk sujud kepada Adam, maka Malaikat sujud[20] dengan membungkukan kepalanya sebagai tanda penghormatan kepada Adam, kecuali Iblis yang enggan bersujud karena rasa sombongnya dan menganggap ia lebih utama dari Adam.[21]  Selain bukti yang mengatakan manusia merupakan makluk Allah SWT merupakan makhluk yang paling mulia, ada beberapa tugas manusia saat hidup di antaranya; manusia merupakan khalifah, manusia harus selalu beribadah kepada Allah semata tidak kepada selainnya, dan yang terakhir manusia mempunyai tugas untuk memakmurkan bumi.[22] Maka manusia harus mengisi kehidupannya di dunia dengan sebaik mungkin. Jika hanya diisi dengan makan, minum, dan lain sebagainya yang bersifat memenuhi hawa nafsunya, maka  tidak berbeda dengan kehidupan binatang.
                Pemikiran merupakan salah satu proses berfikirnya seseorang terhadap sesuatu, sehingga ia dapat menyimpulkan sesuatu melalui pikirannya. Proses berfikir dapat berasaskan syara yang bersumber dari Al Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW ataupun berdasarkan ijtihad seseorang. Terkadang ada anggapan bahwa proses berfikir menggunakan akal merupakan proses yang kurang baik. Padahal proses tersebut dilakukan oleh seseorang melalui ijtihadnya yang berlandaskan syariat.[23] Sebagai contoh, Ilmu Fikih merupakan buah hasil pemikiran ulama dalam memahami Nas melalui ijtihadnya dengan menggunakan akal. oleh karena itu, penciptaan akal terhadap manusia bukan termasuk hal yang sia-sia. Tentunya banyak hikmah dari penciptaan akal tersebut, dan ayat-ayat Al Quran banyak membahas akan pentingnya akal dalam merenungkan tanda kekuasaan Allah SWT melalu penciptaan segala sesuatu di alam semesta.



    [1] Sa’duddin Mus’ad Hilaly, Huquq al Insan fi Al Islam, (cet: 1, Kairo; Maktabah Wahbah, 2010),h.234.
    [2] Samih Abdul wahhab Al Jundi, Ahamaiyyatul Maqashid fi As Syariah Al Islamiyah wa Atsaruha fi Fahmi An Nas wa Istinbat Al Hukm, (cet.1; Iskandariyah: Darul Iman),h.248.
    [3] Muhammad Imarah, Maqam al ‘Aql fi Al Islam, (cet.2, Kairo; Nahdhah Mesir, 2009),h.8.
    [4] Muhammad Imarah, Maqam al ‘Aql fi Al Islam, (cet.2, Kairo; Nahdhah Mesir, 2009),h.8.
    [5] Muhammad ‘Imarah, Tayyarah Al Fikr Al Islamy, (cet.3, Kairo; Darus Syuruq, 2008),h.303.
    [6] Yusuf Al Qaradhawi, al ‘Aql wa al ‘ilm fi Al Quran Al Karim, (cet. 1; Kairo: Maktabah Wahbah, 1996),h.31-32.
    [7] QS  Al Imron ayat 190-191.
    [8] Sa’duddin Mus’ad Hilaly, Huquq al Insan fi Al Islam, (cet: 1, Kairo; Maktabah Wahbah, 2010),h.236.
    [9] Yusuf Al Qaradhawi, al ‘Aql wa al ‘ilm fi Al Quran Al Karim, (cet. 1; Kairo: Maktabah Wahbah, 1996),h.31-32.
    [10] Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azim, telah ditahqiqi oleh Dr Sayyed Muhammad Sayyed, jilid 2,(cet.1; Kairo: Darul Hadits, 2005),h.205.
    [11] Samih Abdul wahhab Al Jundi, Ahamaiyyatul Maqashid fi As Syariah Al Islamiyah wa Atsaruha fi Fahmi An Nas wa Istinbat Al Hukm, (cet.1; Iskandariyah: Darul Iman),h.248.
    [12] Yusuf Al Qaradhawi, al Hayah ar Rabbaniyah wa al ‘Ilm, (cet.6; Kairo: Maktabah Wahbah, 2007),h.71.
    [13] Ismail bin Musa bin Utsman bin Jaudah al Hamidi, Syarh ‘ala al Aqidah as Sughra li Syaikh Ahmad Dardiri, (cet 1; Kairo: Musthafa Bab Al Halabi, 1939),h.12.
    [14] Yusuf Al Qaradhawi, al ‘Aql wa al ‘ilm fi Al Quran Al Karim, (cet. 1; Kairo: Maktabah Wahbah, 1996),h 13.
    [15] M Quraish Shihab, Wawasan Al Quran; Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, (cet.1; Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007), h.388.
    [16] Yusuf Al Qaradhawi, al ‘Aql wa al ‘ilm fi Al Quran Al Karim, (cet. 1; Kairo: Maktabah Wahbah, 1996),h.17.
    [17] Ahmad Sastra, Filosofi Pendidikan Islam; Memahami Epistemologi Islam, Menggugat Filsafat Barat, (cet.1; Parung: Darul Muttaqien Press, 2014),h.22.
    [18] Al Thaf Ar Rahman bin Tsana, Al Masail Al ‘Aqdiyyah Al Muta’alliqah bi Adam, Juz 2, (cet.1; Universitas Islam Madinah, 2010),h.539.
    [19] Qs Al Baqarah ayat 34.
    [20] Telah menjadi perdebatan yang panjang antara ulama mengenai bentuk sujud Malaikat kepada Adam. Ada di antara Ulama yang mengatakan maksud sujud ialah dengan menaruh dahi kita di atas tanah seperti kita mengerjakan sujud waktu shalat. Ada pula yang mengatakan maksud sujud disini dalam bentuk pengabdian malaikat kepada Adam dan keturunannya yaitu manusia untuk selalu mengerjakan kebaikan. Adapula yang mengatakan maksudnya ialah taat atas perintah Allah SWT untuk sujud kepda Adam dengan memuliakannya. Lihat  Al Thaf Ar Rahman bin Tsana Allah, Al Masail Al ‘Aqdiyyah Al Muta’alliqah bi Adam, Juz 2, (cet.1; Universitas Islam Madinah, 2010),h.539-580.
    [21]Imam Mahalli dan Imam Syuyuti, Tafsir Al Jalalain, (cet.1; Kairo: Darul ghad Al Jadid, 2007),h.6.
    [22] Yusuf Al Qaradhawi, As Sunnah Masdar Li Al Ma’rifah wa Al Hadharah, (cet.4; Kairo: Darus Syuruq, 2005),h.242.
    [23] Imran Samih Nazzal, Ususul Hurriyah fi Bina Al Insan wa Al Mujtama wa Ad Daulah, (cet.1; Damaskus: Kutaibah, 2010),h.81.

    No comments

    Post Top Ad

    ad728

    Post Bottom Ad

    ad728