• Pendidikan Karakter



    A.    PENGERTIAN PENDIDIKAN KARAKTER

    Sudah menjadi maklum, pendidikan merupakan unsur yang sangat penting dalam membangun karakter generasi penerus di masa yang akan datang. Terutama dalam membangun sebuah masyarakat yang memiliki peradaban tinggi, tentunya pendidikan sebagai salah satu unsur yang dapat mengarahkan ke sebuah peradaban. Munculnya tokoh-tokoh sukses di dunia, dapat dipastikan karena pendidikan yang pernah mereka emban selama hidupnya. Maka tak salah jika ada sebuah istilah “pendidikan merupakan politik tertinggi manusia”. Istilah tersebut tentunya menjadi acuan bagi kita semua untuk selalu menjadikan pendidikan sebagai garda terdepan dalam membangun peradaban manusia, terutama menjadikan manusia yang beradab.[1]
    Telah terjadi perbedaan pendapat antara para pakar pendidikan, terutama mengenai esensi pendidikan. Ada yang menyebutkan bahwa pendidikan memiliki persamaan makna dengan pengajaran. Adapula yang mengatakan bahwa pendidikan memiliki makna yang umum dari pengajaran.
    Dalam bahasa Arab, pendidikan diartikan dengan istilah Tarbiyah yang berasal dari kata kerja (fi’il) berikut: rabba-yarubbu yang berarti tumbuh, bertambah dan berkembang. Arba-yarba yang berarti tumbuh menjadi lebih besar, dan menjadi lebih dewasa. Rabba-yurabbi yang berarti mengatur, mengurus, dan mendidik.[2]
    Ada pula yang mengatakan bahwa pendidikan diartikan dalam bahasa Arab merujuk kepada Ta’lim. Istilah tersebut dipakai oleh Al Ghazali lebih kepada kata ta’lim ketimbang istilah tarbiyah. Dapat kami ambil sebuah bukti dalam kitabnya ihya ulumudin bahwa bab pertama yang dibahas oleh Imam Al Ghazali ialah fadhlul ‘ilmi wa ta’lim wa ta’allum wa syawahiduhu mina al naql wa al ‘aql.[3]  Dalam bab pertama, ia menjelaskan akan keutamaan ilmu dan ulama. Kata ta’lim di atas mengandung artian mendidik/mengajar, dengan artian bahwa seseorang yang mengajarkan ilmunya kepada orang lain, seolah-olah ia sedang mendidiknya agar berkembang secara maksimal kepada tujuan yang ditargetkan.[4] Menurut Al Ghazali, bahwa ilmu merupakan wasilah yang dapat mengantarkan seseorang untuk taqarrub kepada Allah,  karena itu merupakan salah satu tujuan abadi bagi manusia.
    Keutamaan pendidikan  telah dijelaskan langsung oleh Imam Al Ghazali dalam bukunya pada bab pertama. Ia menjelaskan pentingnya pendidikan dengan mengambil beberapa ayat suci Al Quran dan hadits Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam. Berikut ayat suci Al Quran yang ia kutip pada bukunya; surah Az Zumar ayat 9:
    قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَ الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ
                Artinya: “...katakanlah wahai Muhammad, bahwa orang-orang yang mengetahui tidak sama dengan orang-orang yang tidak mengetahui....”
                يَرْفَعِ اللهِ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوْالْعِلْمِ دَرَجَاتِ
                Surah Al Mujadalah ayat 11
                Artinya: “....Allah akan mengangkat kedudukan orang-orang yang beriman di antara kamu, dan orang-orang yang berilmu....”
                                        Pada ayat di atas, Imam Al Ghazali menyebutkan bahwa Allah tidak menyamakan kedudukan antara orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu. Begitu pula ayat kedua pada Surah Al Mujadalah di atas,  bahwa Allah  SWT mengangkat kedudukan orang-orang yang beriman dan berilmu dengan derajat yang tinggi. Pada ayat tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan orang-orang berilmu lebih tinggi derajatnya dari orang mu’min biasa. Ibnu Abbas mengibaratkan antara satu tingkat dengan tingkat lainnya berjarak 500 tahun lamanya.[5] Dalam ayat Al Quran yang lain, dapat kita temukan pula firman Allah SWT pada Surah Fathir ayat 28:
    اِنَّمَايَخْشَي اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
    Artinya: “...Sesungguhnya manusia yang paling taat dan takut kepada Allah SWT ialah para ulama dan orang-orang yang berilmu....”[6]
    Sungguh jelas bagi kita semua, bahwa ayat-ayat di atas menunjukan akan pentingnya ilmu. Proses pendidikan yang dimaksud menurut Al Ghazali lebih mengedepankan kepada aspek ilmu. Perlu untuk kita catat, kata ta’lim yang dipakai oleh Al Ghazali dengan artian menyampaikan ilmu kepada seseorang seolah-olah mendidiknya untuk mencapai kepada tujuan yang diinginkan. Artinya manusia mampu dekat dengan Tuhan melalui pengetahuannya. Menurut penulis istilah ta’lim lebih tepatnya sebuah proses mentransfer ilmu dari seorang guru kepada muridnya. Dapat kami buktikan dalam bukunya Abuddin Nata bahwa kata ta’lim lebih banyak dimaksudkan dengan makna pengajaran.[7] Walaupun tidak salah kata ta’lim diartikan juga sebagai pendidikan.
    Dari perbedaan pendapat di atas, terutama mengenai perbedaan dari sudut bahasa yang sesuai dengan makna pendidikan dari kedua istilah Tarbiyah dan Ta’lim, maka berakibat pula terjadi perbedaan pendapat terhadap aspek istilah makna. Seperti Taufik Abdullah Syukur mengartikan istilah pendidikan ialah suatu usaha sadar yang sistematis dalam mengembangkan potensi siswa. Pendidikan ialah suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan.[8] Menurut kami definisi tersebut lebih luas dan belum menyentuh terhadap esensi pendidikan yang sebenarnya.
    Prof Ahmad Tafsir mengartikan pendidikan merupakan berbagai usaha yang dilakukan oleh seorang pendidik terhadap anak didik agar tercapai perkembangan maksimal yang positif. Menurutnya usaha tersebut banyak macamnya, bisa dengan cara mengajarnya, memberikan keteladanan, membiasakan, memberikan pujian dan hadiah. Menurutnya pengajaran merupakan bagian dari usaha pendidikan. dalam hal ini Prof Tafsir lebih condong kepada istilah pendidikan dengan memakai kata Ta’lim.[9]
    Menurut Ihsan Dachalfany, pendidikan ialah usaha atau proses yang ditujukan untuk membina kualitas sumber daya manusia seutuhnya, agar dapat melakukan perannya dalam kehidupan secara fungsional dan optimal. Pada definisi ini, Ihsan Dachalfany lebih menekankan akan pentingnya pendidikan untuk memberikan pertolongan di tengah-tengah kehidupan manusia agar dapat dirasakan manfaatnya bagi manusia lainnya.[10] Definisi ini menurut kami, masih sangat membingungkan karena bermakna umum. Kiranya Ihsan Dachalfany dapat memberikan contoh-contoh ril berkenaan dengan bentuk pertolongan yang harus diberikan dalam mendidik manusia.
    Adapun pengertian karakter, dapat diartikan sebagai watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Karakter dapat diartikan pula dengan perilaku yang dilandasi oleh nilai-nilai berdasarkan norma agama, kebudayaan, hukum, adat istiadat, dan estetika.[11]
    Pengertian karakter dapat dikembangkan menjadi aktualisai potensi dari dalam dan internalisasi nilai-nilai dari luar sehingga menjadi bagian kepribadiannya. Penggalian potensi dapat membentuk sebuah karakter berasalkan dari diri kita melalui pendidikan, pembinaan, pengalaman, pengorbanan, dan pengaruh lingkungan.[12]
    Karakater inilah yang menjadikan sebagai landasan sikap dan perilaku setiap manusia, yaitu budi pekerti luhur dan moralitas yang memiliki daya juang untuk mencapai tujuan mulia. Jadi, seseorang yang berkarakter tidak hanya menjadi orang yang baik saja, melainkan ia harus mampu memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi orang lain. Dapat dikatakan pula, bahwa karakter merupakan kualitas moral dan mental seseorang yang dibentuk dan dipengaruhi oleh faktor bawaan dan lingkungan. Pada mulanya karakter manusia memiliki karakter yang baik, akan tetapi karakter tersebut harus terus-menerus dibina melalui pembinaan sejak dini. Oleh karena itu, Jean Jacques Rousseau seorang pakar pendidikan dari Prancis menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan yang sangat mendasar dalam membentuk karakter seseorang. Karakter seseorang saat dewasa merupakan hasil dari pendidikan usia dini. Maka dari itu, ia menyatakan bahwa pendidikan modern harus meletakkan anak usia dini sebagai pondasi awal dalam pendidikan.[13]
    Penulis sependapat, bahwa karakter sangat berhubungan erat dengan akhlak. Menurut Zainuddin Fananie salah satu pendiri PM Gontor, manusia berkarakter ialah manusia yang sanggup memelihara karakter yang akan memberikan manfaat kepada orang lain dalam pergaulan hidup, tertanamnya kebaikan serta tertanamnya kebiasaan baik.[14] Meskipun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa karakter  tidak ada hubungannya dengan akhlak. Karakter dan akhlak keduanya merupakan suatu tindakan kebajikan yang dilakukan tanpa pemikiran karena sudah tertanam dalam pikiran, dalam arti perbuatan baik sudah mengakar dan menjadi kebiasaan. Dengan demikian, pendidikan karakter berhubungan erat dengan pendidikan akhlak yang mengajarkan nilai-nilai. Tetapi perlu diingat pula, penulis meyakini bahwa pendidikan karakter bukan hanya dilakukan dengan menyampaikan perkuliahan, atau mempelajari buku-buku yang mengkaji langsung mengenai pendidikan karakter, melainkan penddidikan karakter harus ditempuh dengan penanaman aqidah yang kuat dan disertai keteladanan. Syeh Muhammad Al Ghazali mengatakan bahwa akhlak seseorang merupakan cermin dari keimanannya. Tinggi rendahnya keimanan seseorang, sangat berpengaruh kepada kualitas akhlaknya.[15] Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa keimanan yang kuat akan melahirkan akhlak yang kuat pula, dapat dipastikan pula bahwa kerusakan akhlak dan karakter pada saat ini merupakan hasil dari lemahnya keimanan.[16] Sebuah peradaban manusia di muka bumi, dapat dipastikan karena pengaruh akhlak yang dibangun. Tidak ada peradaban maupun kemajuan dalam sebuah negara, jika tidak dilandasi dengan pondasi akhlak yang kokoh dan kuat. Islam datang ke muka bumi melainkan untuk merubah kehidupan manusia dari keburukan menjadi kebaikan bahkan menjadi lebih baik.[17]
    Dari pemaparan di atas, dapat penulis ambil sebuah kesimpulan mendasar akan pentingnya pendidikan karakter. Menurut ijtihad penulis, pendidikan karakter yang saat ini sangat ramai dibahas oleh para peneliti maupun akademisi, penulis meyakini akan keterkaitan yang kuat antara pendidikan karakter dengan pendidikan akhlak. Pendidikan karakter yang dibutuhkan saat  ini bukan hanya sebuah mata pelajaran siswa, melainkan sebuah pembiasaan siswa untuk selalu melakukan perbuatan baik dan terpuji dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan dan pengenalan terhadap sesuatu yang baik, tidak menjamin seseorang akan berkelakuan baik. Penulis lebih setuju bahwa pendidikan karakter merupakan latihan dan pembiasaan bagi siswa untuk berkarakter baik, serta mampu memberikan manfaat kebaikan bagi orang lain. Pengenalan akhlak disertai dengan melatih dan membiasakan berakhlak mulia, merupakan tugas para pendidik saat ini.
    Dalam Al Quran banyak ayat yang menyinggung untuk selalu melakukan kebaikan. Ayat-ayat tersebut biasanya didapatkan pada term “amilus shalihat”. Terjemahan pada term tersebut “mereka selalu melakukan perbuatan kebaikan” atau “membiasakan beramal saleh”. Jumlah term “amilus shalihat” dalam Al Quran berjumlah 73 kali. Dengan demikian, pembiasaan terhada amal kebaikan dalam proses pembinaan dan pendidikan karakter Islam sangat penting.[18] Hampir seluruh perbuatan baik yang dilakukan oleh manusia berdasarkan asas pembiasaan. Dalam melakukan kebaikan, tidak hanya diperlukan berupa kesadaran, melainkan harus ada pembiasaan diri untuk selalu melakukan perbuatan kebaikan. Pembiasaan ini tidak mungkin terjadi tanpa adanya latihan serta usaha untuk memaksa agar mencapai kepada tujuan yang diinginkan. Contoh sederhana, seseorang yang selalu melakukan perbuatan buruk, ini merupakan akibat dari sebuah kebiasaannya. Begitu pula jika ia hendak merubah akhlak buruknya, tentu ia harus memaksakan diri untuk tidak melakukan perbuatan buruk tersebut. Dengan demikian ada sebuah ungkapan yang sering penulis dengar dari beberapa ahli dan praktisi pendidikan, bahwa pembiasaan akan muncul akibat keterpaksaan. Ungkapan tersebut jika didengar dan dipahami, kemungkinan dapat menimbulkan sebuah opini yang kontroversial terutama dalam dunia pendidikan karakter dewasa ini. Akan tetapi penulis menduga, bahwa kesuksesan pola pendidikan karakter di beberapa pesantren Indonesia khususnya pesantren yang menganut model pendidikan modern, hampir secara keseluruhan memakai model pembiasaan dengan menerapkan paksaan untuk melakukan perbuatan baik dalam bingkai disiplin. Untuk lebih jelasnya, penulis akan mengkajinya dalam pembahasan selanjutnya pada tataran konsep pendidikan karakter di pesantren.
    B.     FIGUR DAN GAYA KEPEMIMPINAN KYAI DALAM PROSES PEMBINAAN  KARAKTER  SANTRI
    Pesantren merupakan lembaga Islam tertua di Indonesia. Keberadaan pesantren diiringi dengan masuknya Islam di nusantara. Para penyebar Islam di nusantara telah mengajarkan Islam di tempat-tempat yang seadanya, dan model tersebut diikuti oleh para murid-muridnya melalui pesantren.[19] Bahkan pada masa penjajahan pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang menjadi pesaing lembaga pendidikan sekuler rintisan Negeri Kincir Angin.[20] Sudah tidak diragukan lagi, keberadaan pesantren di Indonesia memberikan kontribusi besar terutama dalam memahamkan masyarakat Muslim Indonesia terhadap ajaran-ajaran Islam yang komprehensif. Kyai Hasan Abdullah Sahal pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor pernah menyampaikan kepada penulis, bahwa orang-orang non Muslim sangat iri dengan keberadaan pesantren, karena kehidupan pesantren tidak ditemukan pada kehidupan mereka.[21] Keberadaan kyai dan guru bersama santri di sebuah lingkungan pesantren selama 24 jam, serta kehidupan santri dalam kesehariannya dipenuhi dengan aktifitas yang memberikan manfaat baginya. 
     kyai merupakan unsur terpenting dalam komponen pesantren. Kehadirannya di tengah-tengah santri sangat menentukan proses pendidikan di pesantren. Hampir kebanyakan pesantren di Indonesia, sangat bergantung keberhasilannya pada keahlian, kedalam ilmu, karisma dan wibawa serta ketrampilan kyai.[22]
    Kyai merupakan pusat figur para santrinya dalam kehidupan sehari-hari di pesantren. Meskipun ada sebuah pertanyaan yang saat ini beredar, apakah perkembangan pesantren terletak kepada pengaruh kyai atau karena sebuah sistem yang dibangunnya sehingga pesantren tersebut menjadi berkembang?
    Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu bagi penulis untuk menjelaskan corak dan model pesantren di Indonesia berdasarkan hasil kajian. Kelompok pertama, yaitu kelompok Pesantren Salafiyah yang merupakan cikal bakal tumbuh dan berkembangnya pesantren di Indonesia. Pondok pesantren ini masih mempertahankan sistem klasik dengan mengajarkan kitab-kitab Arab klasik yang ditulis oleh para ulama pada abad ke-15. Pola pengajarannya masih menggunakan halaqah maupun sorogan[23] yang dilaksanakan di masjid maupun surau. Pesantren yang masih murni menjaga sistem tradisional menurut KH Muadz Thohir hanya ada beberapa saja di antaranya adalah Pesantren Lirboyo, Pesantren Mathali’ Al Falah Kajen yang pernah dipimpin langsung oleh alm KH Sahal Mahfudz.[24] Menurutnya sudah banyak Pesantren Salafiyah di Indonesia yang telah terkikis budaya tradisionalnya. Salah satu faktor terbesar dalam pengaruh tersebut ialah karena beberapa Pesantren Tradisional sedikit banyaknya telah memadukan pola pendidikannya antara sistem tradisional dengan sistem modern. Pesantren Salafiyah menggunakan asrama yang terkadang bernuansa sederhana, bahkan ada beberapa Pesantren Salafiyah didapati asramanya masih menggunakan bambu maupun kayu.
    Kelompok kedua, dapat kami sampaikan merupakan kelompok Pesantren Modern dengan berbasis sistem Kulliyatul Muallimin Al Islamiyah yang diprakarsai pertama kali oleh Pondok Modern Gontor tahun 1926.[25] Salah satu sebab kemunculannya pesantren modern di Indonesia ialah sebagai model pesantren yang mengedepankan kemandirian. Kyai Imam Zarkasyi salah satu pendiri PM Gontor sempat mengritik keras terhadap sekolah-sekolah negeri yang mengedepankan aspek pentingnya menjadi pegawai negeri (kepegawaian) tanpa mengedepankan aspek moralitas.[26] Di beberapa pesantren yang berkiblat ke Gontor, didapatkan sistem “Tarbiyatul Muallimin Al Islamiyah” (TMI) kedua istilah tersebut sebenanya memiliki kesamaan substansi makna. KMI atau TMI merupakan lembaga pendidikan tingkat menengah dengan masa belajar 6 tahun. Beberapa pesantren Indonesia yang menurut kami kental dengan sistem Gontor di antaranya adalah Pesantren Latansa Lebak Banten, Darul Qolam Banten, dan Darunnajah Jakarta. Pesantren-pesantren tersebut memakai sistem asrama, tetapi pola pendidikan di asrama tidak sama bahkan jauh perbedaannya dengan sistem asrama yang digunakan pada sekolah Islam unggulan.
    Kelompok ketiga, merupakan sebuah pesantren yang memadukan sistem tradisional dan modern. Biasanya didapatkan pada pesantren ini sebuah pengajaran kitab klasik yang tidak sedikit, maka dapat kita lihat pola perpaduan sistem antara tradisional dan modern pada sebuah pesantren, biasanya muatan kurikulum pelajarannya sangat banyak. Di lain hal, penulis melihat pesantren dengan model seperti ini lebih dominan kepada sistem tradisionalnya. Dapat kita lihat contoh yang dapat penulis sajikan berupa pesantren Tawazun Kalijati Subang memakai sistem pendidikan seperti ini. Bahkan pola pendidikannya menggunakan asrama dengan pembinaan guru kepada santri selama 24 jam dengan kyai sebagai figurnya.
    Kelompok keempat, merupakan fenomena baru pendidikan Indonesia saat ini dengan bermunculan sekolah-sekolah Islam unggulan. Menurut penelitian beberapa pakar pendidikan, sekolah Islam unggulan lebih banyak ditemukan di perkotaan.[27] Bermunculannya sekolah Islam unggulan salah satu faktornya karena umat Islam saat ini resah dengan kondisi generasi pemuda Islam yang tidak mengenal agamanya. Penyebabnya tiada lain, karena minimnya pelajaran yang diajarkan pada sekolah formal. Salah satu solusi terhadap permasalahan ini, dengan memadukan antara pelajaran umum dan agama. Oleh karena itu, dengan adanya sekolah Islam unggulan saat ini, setidaknya harapan umat Islam terhadap generasi penerusnya, agar mereka dapat mempunyai wawasan pengetahuan luas baik dalam hal pengetahuan umum maupun agama dengan dibekali spirit religius pada dirinya dapat menjadi kenyataan. Ada dua hal penting yang harus diperhatikan terhadap sekolah Islam. Pertama, secara administratif dan struktural, sekolah Islam berada di bawah Departemen Pendidikan. Kedua, dalam konteks kurikulum “sekolah Islam” menekankan kepada sains modern seperti matematika, fisika, kimia, dan biologi sementara mata pelajaran Islam sebagai komplementer. Ketiga, saat ini beberapa sekolah Islam unggulan menggunakan konsep “boarding school” dalam mendidik siswanya. konsep ini menurut penulis terlihat baru, tetapi sebenarnya konsep asrama sudah lama dikenal khususnya pada dunia pesantren. Walaupun demikian, konsep asrama yang digalakkan akhir-akhir ini oleh beberapa sekolah Islam unggulan dalam rangka mewujudkan manusia yang beradab dan berkarakter, masih jauh yang diharapkan khususnya dalam penanaman nilai dan karakter kepada siswa. Faktanya yang terjadi pada sekolah Islam unggulan, lebih mengedepankan pelajaran-pelajaran umum, meskipun disatu sisi diajarkan pula pelajaran agama. Begitu pula dengan kedisiplinan yang diterapkan pada asrama, masih sangat longgar, sehingga berdampak yang signifikan terhadap karakter siswa. Walaupun dibatasi interaksi antara siswa dan siswi, tetapi sangat mudah untuk bisa bertemu dan berkenalan. Dapat kita lihat dalam hal sederhana berupa tidak ada pemisahan tempat saat siswa dan siswi belajar di dalam kelas. Jika di pesantren jarang kita temukan ada pencampuran antara santri putra dan putri, berbalik dengan beberapa sekolah Islam unggulan yang menerapkan satu kelas terdapat siswa dan siswi.
    Di atas merupakan beberapa model dan corak pesantren di Indonesia saat ini. Meskipun banyak dari para akademisi yang membagi corak pesantren ke beberapa varian dan model. Tetapi menurut penulis, sangat cukup bagi kita untuk mengetahui gambaran besar pembagian pesantren menjadi empat bagian dan model sesuai yang penulis kemukakan di atas.
    Untuk menjawab pertanyaan di atas, apakah pengaruh kyai sangat dominan dalam perkembangan pesantren dari sekedar sistem yang dibangun. Sebenarnya dalam dunia pesantren, sudah menjadi dasar bahwa kehadiran kyai sangat menentukan perkembangan pesantren kedepan. Kyai merupakan pimpinan tertinggi dalam organisasi di lingkungan pesantren. Hampir kebanyakan pesantren yang berkembang di Indonesia merupakan hasil desain dan ijtihad kyainya. Visi misi, tujuan dan motto pesantren, serta sistem pendidikan dan pengajaran yang dibangun, itu semua merupakan hasil ijtihad kyainya.
    Ada beberapa model kyai yang dapat penulis sampaikan dari hasil penelitian dan fenomena di lapangan, salah satunya ada kyai kitab yang selalu mengajarkan kitab klasik, ada pula kyai masyarakat yang menjadi rujukan untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat, ada juga kyai mimbar yang aktif  berceramah di berbagai tempat baik masyarakat sekitar pesantren, dan ada pula kyai santri yang menjadi central figure keteladan. Kehadirannya di tengah-tengah pesantren selama 24 jam dan mendedikasikan hidupnya untuk mendidik, membina, menata, membimbing dan melayani kehidupan pesantren secara islami, tarbawy dan ma’hady.[28] Kyai santri biasanya banyak menguasai permasalahan pesantren secara mendatail baik permasalahan kecil maupun besar. Ia mampu mengetahui jumlah guru, jumlah sarana dan prasarana dari sudut data yang kongkrit, struktur pesantren dan lembaga disertai permasalahannya. Intinya, kyai santri lebih banyak fokus terhadap perkembangan pesantren kedepannya. Meski demikian, seorang kyai tidak harus menafikan untuk melakukan kerjasama di luar pesantren. Hanya dalam hal ini perlu diperhatikan bagi kyai akan kondisi saat ia mengelola Pesantren. Jika ia seorang pemimpin yang tunggal, saran penulis agar kyai selalu menyibukan dirinya di dalam Pesantren. Adapun kerjasama dengan pihak-pihak luar Pesantren, dapat dilakukan jika kyai memiliki partner atau seseorang yang sanagat ia percayai dalam mengelola Pesantren. Dalam hal ini kyai dapat melakukan kerjasama apapun terutama dalam hal pengembangan Pesantren. Meskipun kyai sebagai figur dalam lingkungan pesantren, terkadang para kyai melupakan unsur kaderisasi. Sehingga setelah wafatnya kyai, banyak ditemukan pesantren-pesantren yang hancur ataupun gulung tikar. Ini merupakan akibat karena kyai melupakan unsur kaderisasi yang merupakan komponen sangat penting dalam perkembangan pesantren.
    Sebenarnya kehadiran kyai dalam sebuah pesantren tanpa didukung unsur kaderisasi yang kuat, berdampak melemahnya perkembangan pesantren. Penulis meyakini bahwa figur kyai sangat dibutuhkan, tetapi harus didukung pula dengan sistem yang kuat, karena pesantren sangat bergantung bukan hanya kepada pengaruh kyai, melainkan harus didukung dengan penanaman sistem. Pada akhirnya pesantren setelah ditinggal mati oleh kyainya,  tetap berdiri tegak dan berkembang.
    Gaya kepemimpinan kyai di pesantren sangat berpengaruh  terhadap pola organisasi. Pola organisasi tersebut bukan hanya ada pada tataran organisasi guru, melainkan kepada tataran organisasi santri. Dari berbagai literatur, menurut M Ihsan Dacholfany[29] ada beberapa gaya kepemimpinan kyai dalam memimpin pesantrennya. Pertama; religio paternalistic yaitu pendekatan yang dilakukan oleh kyai kepada santri-santrinya dengan mengedepankan nilai-nilai keagamaan dan berdasarkan gaya kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Hampir kebanyakan kyai di Indonesia menggunakan pendekatan religius terhadap santrinya. Akan tetapi pendekatan pertama ini lebih banyak didominasi oleh kyai-kyai di pesantren Salafiyah. Meskipun penulis tidak memungkiri pendekatan religi dapat ditemukan di beberapa Pesantren Modern. Kedua; gaya kepemimpinan paternalistic-otoriter yaitu kepemimpinan yang dilakukan oleh kyai kepada santrinya dengan memberikan kesempatan untuk berkreasi, tetapi sekaligus otoriter. Maksud dari tipe kedua ini, kyai memberikan kesempatan kepada santri tetapi kyai telah memberikan batasan-batasan yang jelas, sehingga guru dan santri dalam mengelola pesantren tidak diperbolehkan untuk melampaui atau keluar dari batasan-batasan tersebut. Pada tipe kepemimpinan yang kedua, kyai sangat mengedepankan unsur kaderisasi serta menjunjung tinggi nilai-nilai pendidikan karakter. Ketiga; gaya kepemimpinan legal-formal yaitu mekanisme kerja kepemimpinan kyai dengan menggunakan fungsi kelembagaan.  Pada tipe ini, seluruh komponen dan unsur dalam lembaga seperti unsur guru, maupun santri bekerja sesuai dengan tugasnya masing-masing. Sehingga seluruh elemen dan unsur kelembagaan mengerjakan tugasnya sesuai pada bidang maupun amanah yang diberikan. Kelemahan dari tipe ini, kyai terlalu demokratis dengan memberikan kebebasan kepada bawahannya dalam artian “guru-guru” untuk berijtihad dalam mengelola pesantren. Menurut penulis, tipe yang ketiga ini sangat berbahaya dalam perkembangan pesantren. Alasan penulis, gaya kepemimpinan seperti ini sangat rentan terlalu memberikan kebebasan bagi guru-guru dalam mengelola pesantren tanpa ada pengawalan dari kyai. Hasil dari kepemimpinan seperti ini, kebijakan pesantren akan banyak yang keluar dari aturan dan batasan-batasan. Pada akhirnya pesantren tidak mampu sampai kepada tujuan serta visi misinya. Sudah menjadi keniscayaan bahwa pendidikan di pesantren harus mengikuti alur visi misinya, karena hal tersebut merupakan hal-hal yang telah dibentuk oleh pendahulunya. Keempat; gaya kepemimipinan bercorak alami. Dalam hal ini kyai tidak memberikan kesempatan kepada selainnya untuk menentukan kebijakan strategis, dan hal tersebut hanya wewenang kyai. Hampir secara keseluruhan baik yang berhubungan dengan keputusan dan kebijakan yang strategis, diputuskan  oleh kyai.
    C.    POLA PENDIDIKAN  KARAKTER DENGAN SISTEM ASRAMA (BOARDING SCHOOL)
                   Salah satu penyebab suksesnya sebuah nuansa kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai pendidikan, tenaga pendidik maupun lembaga pendidikan mampu membuat sebuah lingkungan yang kondusif. Lingkungan merupakan faktor penentu agar tercapainya kegiatan pendidikan.       Menurut Zainuddin Fanani, ruang lingkup pendidikan meliputi 3 unsur penting, ia menyebutkan pendidikan 3 rumah: rumah keluarga, rumah sekolahan, dan rumah pergaulan sosial.[30] Dari hal yang telah disampaikan oleh Zaenuddin Fanani, sangat jelas bahwa lingkungan sangat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan karakter seseorang. Sebagai contoh yang ringan, seseorang yang hendak belajar bahasa asing khususnya bahasa Arab dan Inggris tidak hanya ia mendapatkan sebuah teoritis dari hal kosakata maupun ilmu tata bahasa. Perlu adanya teori dan praktek yang signifikan. Maka untuk mempraktekannya perlu ada sebuah lingkungan yang kondusif terutama orang-orang yang ada disekelilingnya. Begitu pula dengan ilmu fikih yang banyak mengajarkan kepada kita mengenai Muamalah khususnya Muamalah sesama makhluk Allah SWT. Contoh ringannya adalah shalat, puasa, dan lain sebagainya. Jika kita melihat syarat dan rukun kesemuanya, maka yang terdetik dalam pikiran kita ialah banyak persyaratan dan rukun-rukun yang harus kita lakukan, sehingga amal ibadah kita dapat diterima oleh Allah SWT. Tetapi karena kita sering mempraktekkan amal-amal ibadah tersebut, tentunya kita dengan mudah menghafal syarat dan rukun-rukun tersebut. Dalam hal ini ada sebuah istilah dalam pola pendidikan dinamakan sebagai pembiasaan.[31] Teori, praktek, serta lingkungan yang kondusif mempunyai peran penting dalam membentuk nuansa pendidikan.  Zaenuddin Fannani membagi adat kebiasaan menjadi 3 bagian.[32] Pertama: adat kebiasaan dalam bekerja. Adat kebiasaan dalam bekerja artinya, dengan itulah manusia dapat mengerjakan pekerjaannya tanpa dilandasi rasa kesukaran. Kedua: adat kebiasaan dalam berfikir. seseorang yang terbiasa untuk meneliti sebuah pengetahuan, maka akan mendalam ilmu pengetahuan tersebut. Ketiga: adat kebiasaan dalam perangai. Berlaku jujur, sopan, mau berkorban untuk orang lain, percaya diri, itu semuanya tidak cukup hanya diucapkan melalui kata-kata, tetapi mesti dibiasakan sehingga menjadi tabiat.
                   Tidak mudah untuk membuat sebuah lingkungan pendidikan yang kondusif, perlu adanya sebuah kerja keras, konsep, sistem serta membutuhkan strategi manajemen yang baik. Pola pendidikan yang digalakkan oleh Pesantren maupun sekolah Islam unggulan terutama Madrasah melalu pembinaan santri maupun siswa dalam asrama selama 24 jam, merupakan pola pendidikan yang tidak asing di mata masyarakat Indonesia. Menurut kami sebagai penulis, pola pendidikan asrama tersebut muncul terutama dipengaruhi oleh kemunculannya pesantren Indonesia yang awalnya menggunakan masjid sebagai pusat kegiatan, serta kyai sebagai figurnya. Asrama yang banyak ditemukan pada beberapa sekolah Islam unggulan maupun Madrasah khususnya, hampir sama misi pendidikannya dengan pesantren, terutama dalam hal mendidik siswa secara intensif oleh tenaga pendidik selama 24 jam di asrama. Hampir secara keseluruhan dari tenaga pendidik sekolah Islam maupun madrasah yang menggunakan sistem asrama, para guru berada di dalam lingkungan asrama. Tugas mereka selain mengajar di dalam kelas, yaitu membina, mengasuh siswa dan siswinya secara intensif selama 24 jam. Sebagai miniatur kehidupan, sekolah maupun pesantren tidak hanya mengajarkan kepada anak didik dalam hal pengetahuan tertentu, karena tujuan pendidikan bukan hanya menghasilkan anak cerdas, melainkan mampu menciptakan manusia yang berkarakter dan berkebiasaan baik.[33]
                Sistem pendidikan asrama merupakan pembeda dengan pola pendidikan sekolah umum yang non asrama. Dapat kita temukan pada sekolah umum non asrama, guru terlihat hanya sekedar mengajar saja walaupun tidak semua guru. Hal-hal berkaitan dengan pergaulan terutama akhlak siswa, sangat minim berada dalam pengawasan guru. Sehingga apa yang dilakukan siswanya di luar sekolah, kemungkinan besar guru tidak mengetahui. Mulai saat siswa pulang sekolah, kemana ia akan pulang, dengan siapa pulang, lalu apa yang ia kerjakan dirumah saat kedua orang tuanya sedang mencari nafkah. Permasalahan tersebut sangat rentan tidak diketahui oleh guru. Pada akhirnya guru hanya mengetahui dampak dari permasalahan tersebut dari pengaduan orang tua siswa. Oleh karena itu, lembaga pengasuhan yang sering kami dapatkan dibeberapa pesantren, berkaitan erat dengan pola pendidikan asrama baik di pesantren maupun dibeberapa sekolah Islam atau madrasah yang membuka program asrama.[34]
                 Secara normatif,  pendidikan keasramaan sesuai dengan tugas dan misi sebuah lembaga pendidikan Islam khususnya memberikan pelayanan pendidikan kepada siswa.[35] Dapat kami katakan, bimbingan pengasuhan sangat panjang, terutama dari mulai siswa bangun tidur saat sebelum shubuh hingga tidur malam. Dari pola pengasuhan ini, kami sebagai penulis melihat akan keterpaduan tugas guru bukan hanya sekedar mengajar di sekolah, melainkan guru maupun tenaga pendidik harus mampu mendidik siswanya di luar sekolah. Bahkan guru harus mampu memberikan kesempatan kepada peserta didiknya melalui kegiatan ekstra kulikuler, agar segala bakat yang dimilikinya dapat bermanfaat baik untuk pribadi siswa umumnya untuk orang banyak.
                Proses pembelajaran di asrama, secara aktual sangat membantu dalam membentuk karakter kepribadiaan siswa. Pola pendidikan ini mencakup dalam hal menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif, dinamis, terukur, terarah, terencana dengan matang sehingga hasilnya sangat baik dalam membangun karakter. Pola pendidikan asrama lebih dominan selain terhadap pembentukan karakter kepemimpinan, sangat berkaitan erat dengan pembentukan moral maupun akhlak siswa.  Pendidikan akhlak merupakan pendidikan tertinggi setelah pendidikan aqidah. Tidak mungkin akan tercapai sebuah peradaban Islam, sebelum membangun karakter akhlak umat Islam. Prof Wan Mohd Nor Wan Daud menyebutkan salah satu ciri manusia beradab:
    Seorang manusia dikatakan beradab karena ia secara ikhlas menyadari bahwa ia memiliki tanggung jawab terhadap Allah SWT, yang memahami dan memenuhi kewajiban untuk dirinya dan orang lain di dalam masyarakat melalui keadilan, serta terus berusaha memperbaiki setiap aspek dari dirinya agar mencapai kesempurnaan sebagai seseorang yang beradab.[36]
                Menurut penulis, pendidikan tidak hanya didapatkan di dalam ruang kelas maupun sekolah. Lebih dari itu pendidikan di luar kelas sangat dominan terutama dalam mendidik karakter siswa. Sudah menjadi maklum, bahwa membangun lingkungan yang dinamis sangat penting terutama dalam membangun kepribadian dan budi pekerti. Ada beberapa tujuan dalam pendidikan karakter terutama di asrama:[37]
    Ø  Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warga negara yang memiliki nilai-nilai karakter bangsa.
    Ø  Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius.
    Ø  Menanamkan jiwa kepemimpinan pada peserta didik untuk menjadi generasi penerus bangsa.
    Ø  Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan.
    Ø  Membuat lingkungan sekolah agar menjadi lingkungan yang sangat mendukung miliu pendidikan.
                Dapat kita ambil contoh pola pendidikan asrama yang diterapkan dibeberapa pesantren modern terutama di Gontor, di antaranya:[38]
    ·         Keteladanan. 
    Metode  ini sangat penting dalam membentuk karakter siswa. Sebaik-baiknya pendidikan adalah dengan perbuatan, bukan sekedar dipidatokan.
    ·         Pengarahan setiap akan dimulainya kegiatan.
    ·         Penugasan kepada siswa khususnya dalam mengerjakan tugas yang berjumlah banyak, hal ini dapat melatih siswa mampu memecahkan problem yang dihadapinya.
    ·         Pembiasaan dalam melakukan hal-hal yang positif.
    ·         Penciptaan lingkungan yang kondusif mutlak ada dalam menciptakan sistem pendidikan asrama, karena unsur sesuatu yang didengar, dilihat, dan dirasakan oleh siswa merupakan unsur-unsur yang mendidik.
    Memang pendidikan asrama sangat memiliki peran dalam membangun karakter siswa. Bukti tersebut dapat kita dapatkan dari pola pembinaan yang dilakukan selama 24 jam. Selain pembinaan akhlak, biasanya siswa dibekali beberapa ketrampilan khusus terutama dalam hal kepemimpinan melalui organisasi siswa, serta kepanitiaan. Begitu pula dengan kegiatan-kegiatan, peserta didik disibukkan dengan kegiatan-kegiatan yang dapat membentuk karakter mereka.
                Ada perbedaan mendasar pola pembelajaran diasrama pada sekolah-sekolah unggulan dengan pola pembelajaran di pesantren. Sebelumnya perlu bagi kami sebagai penulis untuk menyampaikan beberapa karakteristik atau ciri-ciri pondok pesantren. Menurut kami, dari ciri-ciri tersebut mempengaruhi akan perbedaan mendasar terhadap pola pembelajaran pesantren dengan sekolah unggulan yang menggunakan sistem boarding school. Karakteristik tersebut dapat kami ringkas sebagai berikut:
                                      1.             Masjid sebagai sentral kegiatan dalam dimensi ukhrawi dan duniawi.
                                      2.             Pondok atau asrama.
                                      3.             Kyai.
                                      4.             Santri
                                      5.            Pengajaran kitab-kitab Islam klasik
    Dari uraian di atas, unsur keberadaan kyai sebagai pembeda dengan yang ada di sekolah Islam unggulan. Hampir secara umum ciri-ciri dan karakteristik pola pembelajaran pada sekolah unggulan yang memakai sistem asrama sama dengan yang ada di pesantren, hanya satu ciri saja yang tidak ada yaitu unsur keberadaan sosok kyai. Sehingga kami melihatnya, nuansa ruh dan spirit pesantren tidak ditemukan pada sekolah yang menggunakan sistem boarding school. Walaupun nilai-nilai pendidikan yang diterapkan pada sebuah sekolah berasrama masih banyak ditemukan disiplin dan peraturan seperti yang ada di pesantren.
                Kyai di pesantren merupakan central figure dan keteladanan bagi santrinya,[39] meskipun kami tidak menafikan keberadaan kepala sekolah maupun guru dibeberapa sekolah berasrama memberikan pengaruh khususnya ketauladanan. Kemungkinan, sebagai sentral figur di sekolah berasrama ada pada sosok kepala sekolah. Hanya yang menjadi catatan bagi kami, pengaruh kyai dengan sosok kepala sekolah unggulan berasrama sangat jauh berbeda. Kepala sekolah yang kita temukan disekolah berasrama walaupun ia disegani, tetapi hanya sebatas dilingkungan sekolah, berbeda dengan sosok kyai kharismatik yang sukses membesarkan pesantrennya, kemungkinan selain ia disegani oleh guru dan santri, ia disegani pula oleh masyarakat sekitar, bahkan hingga masyarakat luas.
                Dari aspek kemandirian maupun kedisplinan siswa sekolah unggulan berasrama, masih terlihat sangat jauh dari pola kedisiplinan yang diterapkan pada beberapa pesantren. Terlihat dari aktivitas keseharian, meskipun nuansa pendidikan asrama diterapkan, tetapi kami melihatnya sangat kurang signifikan dibanding dengan pendidikan pesantren. Secara keseluruhan aktifitas siswa dimulai dari bangun tidur hingga tidur malam, terlihat menyerupai dengan kegiatan yang ada di pesantren. Hanya dari aspek kedisiplinan, seperti peluang untuk bertemu antara siswa dan siswi sangat mudah terjadi. Mungkin salah satu penyebabnya karena ruang dan tata letak sekolah unggulan berasrama terbatas dengan luas tanah. Lain dengan pesantren, sering kita temukan dibeberapa pesantren yang memiliki luas tanah berkisar 10-20 hektar hingga lebih. Keterbatasan tata ruang sangat mempengaruhi siswa terutama dalam hal pembelajaran. Secara fithrah, siswa kebanyakan masih berumur remaja, perlu adanya ruangan yang luas, agar dapat melakukan segala aktifitas di luar sekolah dengan baik. Begitu pula dengan kegiatan shalat berjamaah di masjid, terkadang disiplin yang diterapkan masih bersifat kesadaran, bukan dengan keterpaksaan hingga pada akhirnya menjadi keterbiasaan.
                Sebenarnya pembinaan yang paling banyak dilakukan oleh beberapa pesantren  khususnya dalam hal membentuk kepribadian santri, banyak dilakukan di luar jam sekolah. Terutama pendidikan asrama yang sangat dominan dalam membentuk karakter santri. Dapat penulis temukan dibeberapa pesanten modern seperti Pondok Modern Gontor, bahwa sistem pembelajaran dan metode dalam proses pembinaan karakter dengan menerapkan sistem berikut ini:[40]
    a.       Keteladanan
    Penonjolan sikap keteladanan dari para kyai, guru, pengasuh, dan santri.
    b.      Penciptaan lingkungan
    Seluruh kegiatan yang ada dipesantren sudah didesain sebaik mungkin untuk dijadikan sebagai miniatur kehidupan, terutama bertujuan dalam membentuk karakter santri.
    c.       Pengarahan
    Seluruh kegiatan di pesantren biasanya diawali dengan pengarahan yang disampaikan langsung oleh pengasuh, sehingga santri mampu mengetahui nilai-nilai terkandung yang ada dalam kegiatan tersebut.
    d.      Pembiasaan
    Biasanya melakukan kegiatan yang ada di pesantren dilakukan dengan pemaksaan. Terkadang pemaksaan sangat dibutuhkan dalam hal ini, hasil yang didapatkan dari pemaksaan ialah pembiasaan.
    e.       Pemberdayaan
    Seluruh santri harus diberdayakan dalam setiap kegiatan. Pendidikan karakter  di pesantren dapat dilakukan dengan kegiatan dan kepanitiaan, keduanya merupakan salah satu unsur pemberdayaan santri dalam rangka membentuk karakter kepribadiannya.
                            Untuk menjalankan sistem pembelajaran pendidikan karakter, biasanya ditemukan di beberapa pesantren sebuah lembaga khusus yang menangani hal pendidikan karakter. Lembaga tersebut dinamakan pengasuhan santri yang terdiri dari beberapa guru pilihan. Pengasuhan santri merupakan lembaga yang mengatur tatanan kehidupan santri selama 24 jam dan berjalannya pondok secara keseluruhannya. Biasanya lembaga ini merupakan tangan kedua dari bapak pimpinan pesantren. Kinerja pengasuhan santri dengan menerapkan  total quality control. Lembaga ini selain mengawal kegiatan santri, ia pula bertugas mengevaluasi seluruh kegiatan.[41] Hampir secara keseluruhan kegiatan baik hal-hal yang berkaitan akademis maupun non akademis diawasi oleh lembaga pengasuhan santri. Lembaga ini sangat strategis posisinya, sehingga banyak orang menganggap sebagai kepanjangan tangan bapak kyai dalam menjalankan tugasnya.[42]
                            Keanekaragaman Pesantren di Indonesia, seperti yang telah penulis sampaikan sebelumnya, ada Pesantren  yang memakai corak Salafiyah, adapula yang bercorak Modern, serta ada yang memadukan keduanya. Dari corak tersebut, beraneka ragam pula metode pendekatan yang diterapkan dalam mendidik santrinya. Penulis melihat, kebanyakan di beberapa pesantren tradisional lebih mengedepankan pendidikan religi dan akhlak. Terutama dari kitab-kitab klasik yang diajarkan. Tak jarang ditemukan santri-santri alumni Pesantren Salafiyah memiliki akhlak yang lumayan baik. Tetapi Pesantren Salafiyah, sangat jarang mendidik santrinya dengan menggunakan pendekatan organisasi, karena organisasi santri sangat jarang ditemukan.
                            Adapun Pesantren Modern, lebih menggunakan pendekatan  kegiatan dan kepanitiaan. Perlu untuk dicatat, banyak orang menganggap bahwa Pesantren Modern sangat kurang dalam hal akhlak dan ubudiyah. Penulis tidak sependapat dengan hal tersebut, melainkan kebanyakan Pesantren Modern di Indonesia berupaya menyeimbangkan unsur ubudiyah maupun akhlak. Begitu pula ilmu-ilmu agama sangat seimbang porsinya dengan ilmu-ilmu umum. Sehingga tidak terjadi dikotomi dalam pembelajaran di pesantren. Pendidikan karakter yang diterapkan dibeberapa Pesantren Modern, lebih menitik beratkan kepada unsur totalitas kehidupan. Banyak dilakukannya pembentukan karakter bagi peserta didik terutama di luar kelas yaitu asrama. Pembentukan karakter santri di asrama sebuah keniscayaan yang tidak diragukan. Asrama merupakan salah satu sarana santri dalam berinteraksi dengan teman-temannya. Di asrama para santri diajarkan untuk bergaul dengan teman-temannya tidak hanya yang satu daerah, melainkan yang berlainan daerah asal. Seluruh kegiatan tidak hanya difokuskan kepada hal-hal yang berkaitan ubudiyah, melainkan banyak ditemukan kegiatan-kegiatan seperti ketrampilan, olahraga, kesenian, serta latihan berorganisasi. Ringkasnya pendidikan karakter dibeberapa Pesantren Modern tidak hanya pada satu kegiatan, melainkan kepada totalitas kehidupan. Kegiatan yang dilakukan santri selama 24 jam sangat mempengaruhi karakternya, dengan catatan harus dikawal penuh dengan disiplin.
                            Jadi salah satu suksesnya pendidikan karakter di beberapa pesantren, dengan menerapkan sistem asrama yang menggunakan disiplin. Disiplin sebagai unsur yang amat penting terutama dalam mengawal kegiatan santri selama 24 jam. Ketiadaan disiplin di asrama, tidak mampu menghasilkan santri yang berkarakter.
    D.    PENUTUP
    Dari pembahasan yang cukup singkat mengenai pendidikan karakter di pesantren, penulis menyimpulkan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang memberi kontribusi besar terhadap pembentukan karakter bangsa. Keberadaan pesantren di Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata, karena pesantren merupakan salah satu warisan dari ulama-ulama terdahulu. Kehidupan di pesantren didukung dengan pembinaan di asrama selama 24 jam. Pembinaan di asrama merupakan pembeda dengan pola pembinaan di sekolah-sekolah non asrama.
    Dalam menjalankan pendidikan karakter, tidak hanya berpusat pada teori-teori yang diajarkan di dalam kelas, melainkan perlu adanya praktek kongkrit di luar kelas. Pendidikan dan pengajaran tidak bisa dipisahkan, melainkan harus selalu beriringan. Pola pendidikan karakter di pesantren telah memadukan antara pendidikan dan pengajaran di dalam kelas.
               
                 







    DAFTAR PUSTAKA

    Abu Hamid Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, ta’liq dan syarh oleh Thoha Abdul Rauf Sa’ad,  Kairo, Maktabah Shafa, 2003.

    Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung, Rosdakarya, 2013.

    Abu Al Faraj Abdurrahman Al Jauzi, Al Tabshirah, telah ditahqiq dan tahrij hadits-haditsya oleh Farid Abdul Aziz Al Jundi, Kairo, Darul Hadits, 2004.

    Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2013.

    Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren,  Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.

    Amie Primarni dan Khairunas, Pendidikan Holistik; Format Baru Pendidikan Islam Membentuk Karakter Paripurna,  Al Mawardi Prima; Jakarta, 2013.

    Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Indonesia Abad ke-20, Kencana Pranada Media Group; Jakarta, 2012.

    Ahmad Suharto, Menggali Mutiara Perjuangan Gontor,  Gontor, 2014.

    Ibnu Abbas, Tanwirul Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, (Darul Anwar Muhammadiyah, Kairo.

    M Ihsan Dachalfany, Pendidikan Karakter Belajar Ala Pesantren Gontor,Pamulang: Wafi Media Utama, 2015.

    Muhammad AL Ghazali, Khuluq al Muslim,  Kairo: Darul Kutub Al Islamiyah

    Mujamil Qomar, Fajar Baru Islam Indonesia? Kajian Komprehensif atas Arah Sejarah dan Dinamika Intelektual Islam Nusantara,  Bandung: Mizan Media Utama, 2012

    Mad Roja Sukarta, Catatan Untuk Para Pejuang,  Darul Muttaqin Press; Parung, 2008

    M Sirozi, Politik Pendidikan,  Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010.

    Miftahul Huda, Manhaj Tarbiyah An Nasyi Fi Zilal Al Quran, Malang: UIN Malang Press, 2012

    Raghib As Sirjhani, Akhlak Al Hurub fi As Sunnah An Nabawiyah,  Kairo: Muassasah Iqra

    Sofwan Manaf,  Dokumen Kurikulum KMI,  Darunnajah; Jakarta, 2014

    Taufik Abdillah Syukur, Pendidikan Karakter Berbasis Hadits, Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2014
    Tim Sylabus KMI Gontor, Ushul At Tarbiyah wa Ta’lim,  Gontor: Darussalam Press.

    Tim Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Pola Pembelajaran di Pesantren,  Kemenag; Jakarta, 2003

    Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al Quran, Jakarta: PT Raja Grafindo

    Wan Mohd Nor Wan Daud, Islamisasi Ilmu-Ilmu Kontemporer Dan Peran Universitas Islam Dalam Konteks Dewesternisasi dan Dekolonisasi, UIKA DAN CASIS UTM; Bogor, 2013


    Zaky Mubarakh Samrakh, Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan dan Manfaatnya bagi Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum di Indonesia, (Tesis Di Uin Jakarta, 1994).
    Zaenuddin Fananie, Pedoman Pendidikan Modern,  Fanannie Center; Jakarta, 2010.





    [1]M Sirozi, Politik Pendidikan, (cet.3; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010),h.3. 
    [2] Taufik Abdillah Syukur, Pendidikan Karakter Berbasis Hadits, (cet.1; Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2014),h.47. lihat Miftahul Huda, Manhaj Tarbiyah An Nasyi Fi Zilal Al Quran, (cet.2, Malang: UIN Malang Press, 2012),h.11-12. Lihat Abdurrahman An Nahlawi, Ushul At Tarbiyah Al Islamiyah wa Asalibuha fi Al Bait wa Al Madrasah wa Al Mujtama, (cet.25; Damaskus: Darul Fikr, 2007),h.16.
    [3] Abu Hamid Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, ta’liq dan syarh oleh Thoha Abdul Rauf Sa’ad, (cet.1. Kairo, Maktabah Shafa, 2003),h.21.
    [4] Zaky Mubarakh Samrakh, Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan dan Manfaatnya bagi Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum di Indonesia, (Tesis Di Uin Jakarta, 1994). Dapat dikatakan pula, pendidikan merupakan sebuah usaha yang dilakukan tenaga pendidik terhadap peserta didik untuk mencapai kepada hasil yang optimal yang positif. Usaha tersebut sangat banyak macamnya, antara lain dengan mengajarkan peserta didik dengan mengembangkan pengetahuan dan ketrampilannya. Maka dalam hal ini menurut kami, Al Ghazali lebih condong kepada istilah ta’lim terhadap istilah pendidikan. Lihat Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, (cet.2, Bandung, Rosdakarya, 2013),h.38.
    [5] Abu Hamid Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, ta’liq dan syarh oleh Thoha Abdul Rauf Sa’ad, (cet.1. Kairo, Maktabah Shafa, 2003),h.21. menurut Ibnu Abbas bahwa seorang mu’min yang berilmu lebih utama daripada seorang mu’min yang tidak berilmu. Lihat Ibnu Abbas, Tanwirul Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, (Darul Anwar Muhammadiyah, Kairo),h.462.
    [6] Pada ayat ini Ibnu Abbas menjelaskan bahwa ulama merupakan hamba Allah SWT yang paling takut kepadaNYA. Lihat Ibnu Abbas, Tanwirul Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, (Darul Anwar Muhammadiyah, Kairo),h.366. lihat  Abu Al Faraj Abdurrahman Al Jauzi, Al Tabshirah, telah ditahqiq dan tahrij hadits-haditsya oleh Farid Abdul Aziz Al Jundi, (cet.1, Kairo, Darul Hadits, 2004),h.563.
    [7] Lihat  Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, (cet.2, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2013),h.20.
    [8] Taufik Abdillah Syukur, Pendidikan Karakter Berbasis Hadits, (cet.1; Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2014),h.47.
    [9] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, (cet.2; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013),h.38.
    [10] M Ihsan Dachalfany, Pendidikan Karakter Belajar Ala Pesantren Gontor, (cet.1; Pamulang: Wafi Media Utama, 2015),h.55.
    [11] Taufik Abdillah Syukur, Pendidikan Karakter Berbasis Hadits, (cet.1; Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2014),h.47.
    [12] M Ihsan Dachalfany, Pendidikan Karakter Belajar Ala Pesantren Gontor, (cet.1; Pamulang: Wafi Media Utama, 2015),h.55.
    [13] Tim Sylabus KMI Gontor, Ushul At Tarbiyah wa Ta’lim, (cet.3; Gontor: Darussalam Press),h.3.
    [14] Zaenuddin Fananie, Pedoman Pendidikan Modern, (cet.1: Fanannie Center; Jakarta, 2010),h.1.
    [15] Muhammad AL Ghazali, Khuluq al Muslim, (cet.__; Kairo: Darul Kutub Al Islamiyah),h.10.
    [16] Muhammad AL Ghazali, Khuluq al Muslim, (cet.__; Kairo: Darul Kutub Al Islamiyah),h.10.
    [17] Raghib As Sirjhani, Akhlak Al Hurub fi As Sunnah An Nabawiyah, (cet.1; Kairo: Muassasah Iqra),h.25.
    [18] Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al Quran, (cet.2; Jakarta: PT Raja Grafindo),h.138.
    [19] Mujamil Qomar, Fajar Baru Islam Indonesia? Kajian Komprehensif atas Arah Sejarah dan Dinamika Intelektual Islam Nusantara, (cet.1; Bandung: Mizan Media Utama, 2012),h.68.
    [20] Mujamil Qomar, Fajar Baru Islam Indonesia? Kajian Komprehensif atas Arah Sejarah dan Dinamika Intelektual Islam Nusantara, (cet.1; Bandung: Mizan Media Utama, 2012),h.68.
    [21] Penulis menemui beliau di kediamannya pada bulan april 2015 hari jumat pukul 07.30.
    [22] Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren, (cet.1; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005),h.67
    [23] Metode ini merupakan kegiatan pembelajaran bagi para santri yang lebih menitik beratkan pada pengembangan kemampuan perseorangan di bawah bimbingan seorang ustadz maupun kyai. Tekhnik pengajiannya diselenggarakan di masjid atau di ruangan tertentu dengan disipkannya tempat duduk kyai atau ustadz, kemudian di depannya terdapat meja untuk meletakkan kitab bagi santri. Lihat Tim Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Pola Pembelajaran di Pesantren, (cet.1: Kemenag; Jakarta, 2003),h.74.
    [24] Penulis pernah berkunjung langsung ke kediaman KH Muadz Thohir di Kajen Pati pada tanggal 13 bulan Oktober 2014.
    [25]PM Gontor didirkan pada tanggal 10 april 1926 di Ponorogo Jawa Timur oleh tiga bersaudara putra Kyai Santoso Anom Besari. Tiga bersaudara ini adalah KH Ahmad Sahal, KH Zaenuddin Fannani, KH Imam Zarkasy. Pada awalnya Gontor hanya membuka Tarbiyatul Athfal (setingkat taman kanak-kanak) lalu meningkat dengan mendirikan KMI yang setara dengan lulusan sekolah menengah. Pada saat itu pesantren dianggap oleh masyarakat hanya mengajarkan ilmu agama tetapi buta dengan pengetahuan umum, maka saat itu para pendiri Gontor mendirikan dengan menggunakan sistem format baru yaitu mempertahankan sistem salaf dengan methode pengajaran sama dengan sistem sekolah umum berupa klasikal. Lihat Amie Primarni dan Khairunas, Pendidikan Holistik; Format Baru Pendidikan Islam Membentuk Karakter Paripurna, (cet.1: Al Mawardi Prima; Jakarta, 2013),h.143.
    [26] Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Indonesia Abad ke-20, (cet.1: Kencana Pranada Media Group; Jakarta, 2012),h.129.
    [27] Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Indonesia Abad ke-20, (cet.1: Kencana Pranada Media Group; Jakarta, 2012),h.320.
    [28] Ahmad Suharto, Menggali Mutiara Perjuangan Gontor, (cet.1; Gontor, 2014),h.75.
    [29] M Ihsan Dachalfany, Pendidikan Karakter Belajar Ala Pesantren Gontor, (cet.1; Pamulang: Wafi Media Utama, 2015),h.53.
    [30] Zaenuddin Fananie, Pedoman Pendidikan Modern, (cet.1: Fanannie Center; Jakarta, 2010),h.29.
    [31] Model pembiasaan telah disinggung dalam Al Quran, ayat-ayat yang membahas pembiasaan bisa terlihat pada term “amilus shalihat. Term ini diungkapkan dalam Al Quran sebanyak 73 kali. Bisa diterjemahkan dengan kalimat “mereka selalu melakukan amal kebaikan”. Jumlah term “amilus shalihat” menunjukan pentingnya kebiasaan suatu amal kebaikan dalam proses pembinaan dan pendidikan karakter dalam Islam. Lihat Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al Quran, (cet.2: Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2014),h.137.  Menurut KH Abdullah Syukri Zarkasyi pimpinan Pondok Modern Gontor, pola pendidikan pesantren lebih menekankan sebuah keterpaksaan. Menurutnya dengan keterpakasaan tersebut, akhirnya akan tumbuh dalam jiwa santri sebuah kebiasaan. Kuliah umum yang disampaikan saat penataran kelas 6 KMI Gontor tahun 2005.
    [32] Zaenuddin Fananie, Pedoman Pendidikan Modern, (cet.1: Fanannie Center; Jakarta, 2010),h.123.
    [33] Zaenuddin Fananie, Pedoman Pendidikan Modern, (cet.1: Fanannie Center; Jakarta, 2010),h.35.
    [34] Mad Roja Sukarta, Catatan Untuk Para Pejuang, (cet.1: Darul Muttaqin Press; Parung, 2008), h.341.
    [35] Ibid hal.340.
    [36] Wan Mohd Nor Wan Daud, Islamisasi Ilmu-Ilmu Kontemporer Dan Peran Universitas Islam Dalam Konteks Dewesternisasi dan Dekolonisasi, (cet.1: UIKA DAN CASIS UTM; Bogor, 2013),h.64.
    [37] Taufik Abdillah Syukur, Pendidikan Karakter Berbasis Hadits, (cet.1: PT Raja Grafindo Persada; Jakarta),h.52.
    [38] Sofwan Manaf,  Dokumen Kurikulum KMI, (cet.1: Darunnajah; Jakarta, 2014),h.3.
    [39] Kyai santri mendedikasikan hidupnya untuk mendidik, membina, menata, membimbing dan melayani kehidupan pesantren yang Islamy, tarbawi, dan ma’hady. Lihat Ahmad Suharto, Menggali Mutiara Perjuangan Gontor, (cet.1: Daruussalam Press; Mantingan, 2014),h.74. lihat Ridjaluddin, KH Imam Zarkasy Dan Modernisasi Pendidikan, cet.1:  Pusat Kajian Islam Uhamka; Jakarta),h.209.
    [40] M Ihsan Dachalfany, Pendidikan Karakter Belajar Ala Pesantren Gontor, (cet.1; Pamulang: Wafi Media Utama, 2015),h.92.
    [41] M Ihsan Dachalfany, Pendidikan Karakter Belajar Ala Pesantren Gontor, (cet.1; Pamulang: Wafi Media Utama, 2015),h.94
    [42] Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharuan Pendidikan Pesantren, (cet.1; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005),h.120.

    No comments

    Post Top Ad

    ad728

    Post Bottom Ad

    ad728